Jumat, 18 November 2016

SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER DI PADANG PARIAMAN

SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER DI PADANG PARIAMAN
Oleh. Munawaratul Ardi

BAB I  PENDAHULUAN
Surau sebagai kultural masyarakat Minangkabau merupakan bangunan yang terpisah dari rumah gadang. Pada awalnya surau berfungsi sebagai tempat tidur, berkumpul, bermusyawarah, belajar adat istiadat dan lainnya. Dengan datangnya Islam, surau megalami islamisasi dan surau menjadi pusat pengembangan Islam. Setelah Syekh Burhanuddin kembali dari belajar agama di Aceh, beliau menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam serta membentangkan jaringan pendidikan surau ke berbagai daerah melalui murid-muridnya.
Surau merupakan salah satu institusi pendidikan utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan merupakan ciri khas serta lambang keberadaan suatu suku. Pada awalnya surau dibangun untuk tempat beribadah dan kemudian menjadi tempat bermalam,  surau mempunyai dua makna. Pertama, bermalam berarti  tidur dan istirahat di malam hari. Kedua, bermalam berarti belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Belajar dalam konteks ini  tidak dapat diartikan sebagai bentuk atau proses pendidikan seperti yang dilakukan sekarang. Belajar sebagai proses pendewasaan generasi muda yang repsentatif dan pemimpin yang bertanggung  jawab.
Ketika Islam datang ke Minangkabau, surau mengalami perubahan yang mendasar yakni pengislamisasian  fungsi surau dari ritualisasi hinduisme-hinduisme kepada islam. Bahkan setelah Syekh Burhanuddin Ulakan menjadi ulama, surau dijadikannya sebagai institusi pendidikan Islam sejenis ribat.  Surau-surau seperti ini berskembang ke berbagai pelosok Minangkabau dan melahirkan ulama-ulama terkenal. Kedatangan Islam ke-Minangkabau menyempurnakan pendidikan lokal yang sudah ada. Surau tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh adat yang arif bijaksana tetapi melahirkan tokoh-tokoh adat yang beragama dan ulama yang ahli adat.
Namun setelah dasarwarsa abad 20, surau sebagai mesin pencetak ulama mengalami kemunduran yang berkepanjangan. Surau tidak siap menghadapi perubahan-perubahan mentalitas masyarakat Minangkabau yang terjadi sedemikian cepat karena dipicu modernisasi yang cendrung westernisasi dan materialistis. Surau tidak punya menejemen yang kuat dan terfokus untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa fungsi surau tidak lebih sebagai tempat beribadah semata, sementara surau besar yang melaksanakan pendidikan tinggi seperti di darek sudah rontok dan hampir lenyap.
Ironisnya disaat  surau sudah lenyap, memori tentang surau muncul kembali. Otonomi daerah mengingatkan masyarakat Minangkabau untuk menghidupkan suatu yang hampir mati. Himbauan kesurau mulai digaungkan, bahkan pemerintah daerah Sumatera Barat ikut mendukung usaha tersebut dengan mengeluarkan perda tentang “ Gerakan Kembali Ke Surau”. Yang menjadi masalah, masih adakah surau, bagaimana kondisi surau yang ada dan kenapa surau itu bisa bertahan?. Masalah ini dikaji berbagai pendekatan sosiologis, antropologis, histories dan kependidikan dengan menggunakan analitis-kritis. Studi tentang kondisi, dan kajian terhadap  kemampuan surau bertahan mempunyai  relevansi dengan gerakan kembali ke suarau yang sedang disosialisasikan.
Metode penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan bersifat deskripsit kualitatif. Namun karena surau terkait dengan masyarkat dan budaya, maka dalam menulsuri fenomena surau, spenulis perpedoman kepda teori-terori  perubahan sosial dan kebudayaan. Fokus wilayah yaitu pada surau yang mengkaji kitab kuning, sekitar 31 surau yang berada ditujuh kecamatan di Padang Pariaman. Intrumen pengumpulan data yaitu studi kepustakaan, observasi, wawancara. Penelitiaan ini menggunakan analisis kualitatif. Melalui analisis ini, rekonstruksi tradisi surau dapat dilakukan dengan menunjukkan setting sosio-historis-nya.

BAB II PARIAMAN RANTAU PESISIR MINANGKABAU
Secara etimologi, asal kata “ Minangkabau”  masih diperselisihkan. Para ahli sepakat meegatakan, minangkabau merupakan nama salah satu suku bangsa di Indonesia yang bertempat tinggal di sebagaian besar wilayah Sumatera Barat. Minangkabau sering disingkat degan “minang” dan masyarakatnya disebut “orang minang” kapan muncul dan dari mana asalnya, masih diperdebatkan pakar sejarah. Perdebatan terjadi karena kurangnya data tertulis yang dapat menjelaskan tentang itu, kecuali dari tambo-tambo dan kaba-kaba yang diwarikan secara oral, sehingga muncul kepercayaan asal nenek moyang orang miang dari kayangan, turunnan bangsa dewa dan mingakabu dahulunya sebuah kerajaan besar, pecahan dari  raja-raja turunan sang sapurba yang turun dari bukit - maha meru (palembang),  keturunan maha raja diraja, turun dari puncak gunung merapi yang datang dari tanah hindustan. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak membahas segala susuatu yang berhubungan degan sejarah asal muasal suku dan kerajaan minangkabau  secara spesifik, kecuali bila hal tersebut dianggap penting. Penulis sejarah yang membagi minangkabau kepada tiga bagian, menamakan  daerah Pariaman dengan pesisir. Tetapi yang membagi kepada dua wilayah, maka Pariaman disebut rantau, tidak jarang juga orang menggabungkan kedua julukan tersebut” rantau pesisir” karena merupakan daerah perantauan dan terletak di pesisir pantai.
Gambaran awal masyarakat pesisir Minangkabau, bahwa wilayah Minangkabau lebih luah dari pada wilayah propinsi Sumatera Barat sekarang, terdiri dari propinsi Sumatera Barat, sebagian Riau dan Jambi. Diduga abad ke-14 dan ke15, kerajaan Minagkabau meliputi seluruh wilayah Sumatera Tengah, antara Palembang dan sungai siak di sebelah timur, kerajaan Mandjudto dan sungai Singkel di Barat.
Sudah menjadi pendapat umum, sebelum islam datang agama yang berkembang dan dianut masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha yang berasal dari India. Tetapi para sarjana kelihatan ragu-ragu mengenai tempat dan proses pengebaran kedua agama tersebut. Apakah seluruh rakyat dan semua daerah atau terbatas pada daerah dan kalangan elit tertentu saja.
Berdasarkan beberapa pendapat sejarawan di atas, dapat dikatakan bahwa islam masuk ke Miangkabau melalui dua pintu, yaitu pintu timur dari malaka melalui sungai siak dan sungai kampar terus ke pusat Minangkabau. Jalur kedua dari aceh  melalui pisisir Barat Pariaman. Dari kedua jalur tersebut, kelihatannya jalur barat lebih berpengaruh darir kpada jalur timur. Hal ini dapat dilihat dari diktum” syara’ mandaki adat menurun” dikatakan syara’ mandaki, karena syara’ datang dari dataran rendah’pesisir dibawa kedataran tinggi “darek’, sementara adat datang dari darek menururun ke “kepisisir”. Oleh kerena itu terdapat perbedaan pengaruh keduanya. Bagian pesisir pengaruh syara’ lebih kuat dari pengaruh adat, sedangkan bagian darek pengaruh adat lebih kuat dari pengaruh syara’ dengan terjadinya perpaduan antar  adat dan agama, maka agama islam akhirnya menjadi puncak dari adat Minangkabau sebagaiana terangkai dalam pepatah, “tali bapilin tigo” yaitu, adat, syara” dan undang yang tersunting dalam pepatah minang “Adat Bersendi Syara”, Dan Syara Bersendi Kitabullah, Syara’ Mengata, Adat Memakai, Syara’ Bertelanjang, Adat Bersesamping, Adat Menurun, Syara’mendaki. Adat Nan Kawi, Syara’‘ Nan Lazim”.

BAB III SURAU DALAM PERSFEKTIF SEJARAH
Surau Periode Awal, rata-rata ulama surau menngatakan bahwa, kata “surau” berasal dari bahasa Arab, terambil dari akar kata “syura” yang berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah, atau berdiskusi dan berkonsultasi. Syura atau musyawarah mengandung makna saling menjelaskan, merundingkan atau saling meminta dan bertukar pendapat menganai suatu perkara. Karena kebiasaan orang minang merobah, menambah atau mengurangi bunyi dan huruf pada kata yang di ambil, maka kata syura berubah menjadi surau. Seperti halnya kemana menjadi kama, lapo menjadi lapau. Pendapat ulama surau di atas memberi kesan bahwa surau eksis dan dikenal masyarakat setelah islam masuk dan berkembang di Minangkabau. Dengan demikian surau dengan segala bentuk, fungsi dan sistemnya berasal dari arab yang dibawa dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam.
Demikian juga kamus “besar bahasa indonesia”  dikatakan “surau” berasal dari bahasa melayu yang sudah menjadi bahasa indonesia. “Surau” berarti tempat (rumah) umat islam melakukan ibadahnya,  bersembahyang dan mengaji”.
Azra juga mengatakan “surau” adalah istilah melayu indonesia dan kontraksinya “suro” yang berarti “tempat” atau “tempat sembahyang”. Menurut pengertian asalnya “surau”  adalah bangunan kecil tempat pengembahan arwah nenek moyang. Perenyataan ini berdasarkan kepada letak surau awal yang dibangun di pucak bukit atau  tempat yang lebih tinggi  dari lingkungannya, kebnyakan surau memiliki  puncak gonjiong yang selain mereflekksikan kepercayaan mitos tertentu, juga belakangan di pandang sebgai simbol adat, selain itu snagat mungkin, surau berkaitan dengan kebudayaan pedesaan, meskipun dalam perkemngan lebih akhir, suaru dapat pula ditemukan didaerah urban. Selain dari bentuk bangunan, azra juga punya alasan lain bahwa istilah surau tidak hanya ditemukan  di minagkabau, tetapi juga di daerah –daerah melayu asia tenggara lainnya seperti;-Semenanjung Malaysia Sumatera Tengah dan Patani (Thailand Selatan).
Fungsi surau lebih dari sekedar tempat kegiatan keagamaan. Menurut ketentuan adat, surau berfungsi sebagai tempat berkumpul para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda. Adat menentukan bahwa anak laki-laki tak ada kamar di rumah orang tua mereka, oleh karena itu mereka bermalam di surau. Surau menjadi amat penting bagi pendewasaan generasi muda minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan, agama maupun keterampilan praktis lainnya.
Kalau awalnya surau dibangun hanya sebagai tempat tinggal, tempat tidur bagi kaum laki-laki dewasa, duda atau tua dari keluarga satu suku atau kaum, setelah islam masuk dan tepatnnnya setelah Syekh Burhanuddin kembali belajar dari Aceh, surau bertambah fungsi menjadi pusat pendidikan dan pengembangan Islam yang ditempati para murid yang dari berbagi suku dan daerah.
Dalam perjalanan yang sangat panjang, surau pernah mengalami masa jaya; surau tumbuh dan berkembang hampir di setiap desa dan didiami oleh banyak penghuni, namun diawal abad XIX, surau mulai mengalami kemunduran yang berkepanjangan, hingga nyaris hilang. Kemunduran surau ini disebabkan oleh bayak faktor , antara lain; perselisihan antar penganut tarekat, perang paderi, intervensi belanda, munculnya kaum pembaru, tumbuhnya budaya merantau, berubah tatanan keluarga, perubahan politik nagari. Maka faktor-faktor diatas merupakan penyebab surau semakin tersingkir dan terpinggir. Surau kehilangan banyak fungsi, kecuali hanya sebagai tempat beribadah dan pengajian anak-anak. Sedangkan surau sebagai lembaga sosial budaya dan pendidikan nyari hilang sama sekali.
Dalam perjalanannya, surau banyak mendapat tantangan. Tantangan yang nyaris merobohkan surau datang dari berbagai arah. Terpaan angin pembaruan yang dihembuskan oleh belanda, tokoh-tokoh permbaru, pemerintah orde baru dan lainnya telah membuat surau semakin terpinggir. Berapa banyak surau-surau besar yang dulunya punya murid ratusan bahkaan ribuan orang, dengan datangnya berbagai goncangan, surau-surau tersebut rontok. Surau yang tinggal tidak lebih dari surau yang berfungsi sebagai tempat beribadat dan mengaji anak-anak. Walaupun demikian, kenyataanya surau-surau di Padang Pariaman tidak tersentuh oleh arus gelombang  pasang kehancuran. Sampai saat ini masih banyak di temui surau yang eksis dan bertahan dengan ketradisionalannya di tengah maraknya pendidikan modern.  Surau-surau tersebut masih melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai lembaga pendidikan konvensional yaitu transmisi dan transfertasi ilmu pengetahuan agama Islam, pemeliharaan tradisi Islam, penciptaan kader-kader ulama.

BAB IV SURAU TRADISIONAL PADA MASA KONTOMPORER
Dalam kamus bahasa indonesia, kata’kontemporer” berarti “pada waktu yang sama” dan “pada masa kini”. Surau kontemporer adalah surau masa kini. Yang dimaksud “surau pada dimasa kontemporer” adalah surau-surau yang masih eksis melaksanakan pengajian kitab (tafaqquh fi al-din) dengan segala dinamikanya di tengah gelombang modernisasi
Secara historis, keberadaan lembaga pendidikan di indonesia berula dengan adanya lembaga pendidikan informal dan non-formal yang terdapat dalam lingkungan keluarga (rumah tangga) dan masyarakat seperti surau, pesantren dan dayah atau meunasah. Lembaga-lembaga tersebut kemudian berubah menjadi lembaga pendidikan islam bersamaan dengan penyebaran islam pada zaman permualaan. Sedangkan pendidikan dalam keluarga berlangsung seiring dengan warisan nilai-nilai tradisi islam yang bersifat internalisasi, yaitu proses pendidikan yang berlangsung dalam keseharian melalui interaksi sosial.
Taufik Abdulah mengatakan, yang dimasud dengan tradisionalis di Sumatera Barat adalah mereka yang ingin mempertahankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akmodasi oleh adat. Menurut orientasi keagamaan masyarakat minangkabau pada dasarnya terbagi kepada tiga corak, 1. mereka yang ingin memperthankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akonodasi oleh adat, mereka ini lebi popule r dengan sebutan kelompok tradionalis, 2. Aliran baru yag lebih bersifat ortodoks yang pada mulanya diperkenalkan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, seorang ulama Minangkabau yang pernah menjadi imam dan qadhi di Mesjid Al-Haram pada awal abad 20, 3. Kelompok kebangkitan baru, yaitu suatu aliran yang lebih dikenal dengan “modernisme” atau di Minangkabau disebut “kaum muda”.
Pendidikan Islam tradisional,  adalah suatu proses pembinaan, bimbingan dan pentransferan nilai-nilai ajaran Islam yang  selalu berpedoman kepada norma-norma dan adat kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-temurun, baik dari segi sistem pendidikan maupun ilmu yang ditransfer kepada murid. Sedang pendidikan islam tradisional memiliki karakteristik tersendiri.
Surau, rangkang yang mempunyai persamaan arti dengan pondok dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Penbedaan kedua lembaga tersebut dapat dilihat dari komponen-komponen yang ada pada masing-masing instusi. Surau, rangkang dan pondok paling tidak mempunyai lima elmen dasar yaitu pondok sebagai asrama santri, mesjid sebagai tempat peribadatan dan pendidikan, penegajaran kitab-kitab islam klasik, santri sebgai perserta didik dan kiyai sebagai pimpinan sekaligus sebagai pengajar.
Karakter lain lembaga pendidikan Islam tradisonal dapat dilihat dari sistem pembelajaran yang berlaku antaranya pendidikan tradisional non-klasik. Masing-masing murid datang menghadap, membawa kitab dan belajar kepada guru.  Jejang pendidikan tidak ditentukan oleh batas usia. Sebagai tujuan pendidikan untuk memahami agama, Pembelajaran difokuskan kepada mata pelajaran agama semata. Pendidiakan tradisional tidak punya kurikulum seperti pendidikan modern. Murid-murid yang telah tamat tidak diberikan ijazah, seperti pendidikan formal dan tidak dipungut biaya.
Di dunia kontenporer sekarang terdapat Surau Ringan-Ringan berbeda dengan surau-surau  yang lain di Pariaman. Surau Ringan-Ringan lebih inovatif dan berkembang dari surau-surau lainnya. Surau ini mengadakan inovasi dalam bidang pendidikan, seperti menerima murid perempuan dan menerima murid perempuan ini semenjak tahun 1993. Menggunakan pendekatan belajar klasikal dan pembelajaran pasca tuanku yang disebut tingkatnya bustan al-muhaqqiqin. Pembelajaran pasca tuanku ini dimaksudkan untuk mendalami Islam secara konprehensif. Inovasi dengan memasukan pembelajaran umum( bahasa inggris, matematika, sejarah, dan lain-lain) Surau ini juga sudah punya asrama untuk orang siak dua buah.
Apakah surau Ringan-Ringan bisa menjadi motor penggerak bagi kemajuan surau di Pariman, atau akan berbeda senderinya dari surau-surau yang lain, kiranya masih butuh waktu untuk melihat perkembangannya. Sekalipun surau tersebut sudah mengadakan terobosan-terobosan baru, namun innovasi yang dibawa baru langkah awal yang perlu kepada pengaembangan-pengembangan yang lebih kongrit.

BAB V KEMBALI KE SURAU
Surau yang mengalami pembaharuan pendidikan Islam, yang dalam pembaruan ini terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh ulama pembaharu. Ulama-ulama yang mengadakan pembaruan di darek hampir rata-rata ulama yang memperoleh pendidikan luar, mekah khususnya. Dan kebanyakan mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Sementara ulama surau di Padang Pariaman tidak ada yang belajar ke mekah kecuali Sutan Darab. Karenanya ulama surau di Padang Pariaman agaknya tidak memiliki wawasan tentang pembaruan pendidikan Islam.
Surau dan pesantren merupakan budaya asli indonesia yang sudah ada sejak zaman hindu budha. Tidak diketahui secara pasti kapan kedua lembaga itu pertama kali muncul. Namun setelah islam masuk dan berkembang, surau dan pesantren menjadi institusi pendidikan dan pengajaran agama islam. Surau merupakan lembaga yang ada di minangkabau sedangkan pesantren tumbuh dalam masyarakat jawa yang involutif tetap bertahan dan bahkan berkembang sampai saat ini.
Sebagai lembaga pendidikan islam, surau dan pesanteren mempunyai makna yang sama. Tetapi sebagai budaya, surua dan pesantren dua hal yang berbeda. Surau tumbuh di tengah  masyarakat Minangkabau yang diwarnai oleh budaya masyarakat Minangkabau itu sediri. Fungsi sosiologis surau tentu saja berbeda dengan fungsi sosiologis pesantren. Oileh karena itu secara sosial budaya surau tidak bisa digantikan oleh pesanteren, kecuali kalau budaya masyakat minangkabau itu sendiri juga terkikis. Namum banyaknya surau yang masih eksis walaupun istilah suarau sebagai snomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan pendidikan islam secara nasional. Kelihatannya surau masih mampu bertahan. Surau bisa saja mengadopsi tradisi pensantren dalam sistem pendidikan islam, namun sebagai budaya, suarau tidak bisa digantikan pesantren.
Kembali kanagari merupakan pencerahan bagi surau, karena suarau merupakan syarat bersdirinya sebuah nagari dan merupakan bagian dari tali bapilin tigo dimana nagari akan  menjadi kuat jika  umara, ulama dan ninik mamak tetap dalam satu kesatuan yang utuh.
Meskipun gerakan kemabli ke surau masih dalam bentuk wacana, otonomi daerah yang bergulir, setidaknya telah mebawa angin segar terhadap aset kultural yang sudah lama digilas oleh arus modernisasi yakni kandasnya nagari sebagai pemerintahan demokratif bagi masyarkat minangkabau yang beraarti hilangnya fungsi surau dalam tungku tigo sajarangan. Gerkan kembali ke surau sudah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya surat keputusan gubernur tanggal 26 maret 2003 dengan menjadikan surau sebagi sentral kegiatan keagamaan. Praksis kembali kesurau tersebut baru diterapkan di kota padang dengan menjadikan surau sebgai puat kegiatan keagamaan. Adapun bentuk kegiatannya baru berupa taman pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyah Awaliyah, didikan subuh dan pesantren kilat.
Henbusan angin segar yang datang bersamaan dengan Otonomi Daerah, yakni kembali ke nagari juga berarti kembali ke surau, ikut menggairahkan pendidikan surau. Undang-undang kembali kenagari ikut memperkuat posisi surau dalam kultur dan struktur masyarakat Minangkabau. Surau kembali menjadi wacana public.
Bukti lain perhatian pemerintah terhada pendidikan surau adalah dengan memberikan bantuan dana berupa bantuan modal usaha yang dikelola dan dikebangkan secara berkelompok oleh orang siak yang mengikuti program. Bentuk usaha yang dikembangkan disesuaikan dengan skill yang mereka miliki atau arahan dari guru pembina. Perhatian pemerintah ini merupakan kebajikan dalam upaya peningkatan status pendidikan suarau. Meskipun penyetaraan belum menunjukkan pengakuan terhadap kualitas ilmu agama yang dimiliki tamatan surau,  namun usaha tersebut merupakan langkah awal peningkatan status pendidikan surau.
Kelemahan dan kekuatan surau di atas menunjukkan bahwa kekuatan surau masih lebih banyak jika dibandingkan dengan kelemahan yang ada. Dan berarti bahwa surau masih sangat dibutuhkan masyarakat dan masih mampu bertahan dengan ketradisionalnya tanpa haru berubah menjadi pesantren. Persoalannya adalah bagaimana ulama surau mampu mengembalikan citra dan mensosialisasikan pendidikan surau, sehingga surau-surau benar-benar dapat menjadi gudang ulam yang mampu mengatasi krisis agama di Sumatera Barat khususnya dan indonesia umumnya.
Menurut hemat penulis, walaupun istilah surau sebagai nomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan pendidikan islam secara nasional, akan tetapi harapan mepertahankannya secara lokal masih tersbuka, karena Padang Pariaman yang dikenal sebagai basis pendidikan surau masih mempunyai banyak surau yang menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan islam tradisional ditengah maraknya pendidikan sekuler, masdrasah dan pesantren-pesantren modern. Pengakuan masyarakat terhadap alumni surau sebagai elit desa, pemahaman bahasa arab dan ilmu agama islam tuaku yang cukup baik dan masih banyak generasi muda yang mau belajar di surau, masih banyak ditemui fakih (murid) yang berkain sarung, kaki beralaskan  sandal, peci hitam menutupi kepala dan buntil disandang di bahu,  pergi meminta sedekah ke rumah-rumah penduduk atau di pasar-pasar setiap hari kamis merupakan indikasi bahwa surau masih diminati dan eksis di tengah masyarakat.

BAB VI PENUTUP
Kemampaun bertahan ini tidak luput dari komitmen dan usaha para tuanku dan dukungan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan surau dengan melempar jaringan surau ke berbagai daerah, terutama daerah pedesaan. Setiap fakih (murid) yang sudah berhasil menamatkan pendidikannya, dikembalikan ke daerahnya masing-masing atau di daerah lain dan dengan bantuan masyarakat, tuanku-tuanku muda dibangunkan surau baru sebgai tempat tinggal dan mengajar.
Dan yang lebih menggembirakan, di awal abad ke-21 surau-surau di Padang Pariaman mulai bangkit. Ulama-ulama surau mengadakan terobosan-terobosan baru untuk menarik banyak murid dengan meberi izin kepada murid-muridnya belajar di sekolah-sekolah formal, serta merubah jadwal belajar di surau, disesuaikan dengan waktu belajar di sekolah. Langkah yang dilakukan ulama lama surau tersebut mendapat respon positif, jumlah input fakih semakin meningkat.
Selain usaha dari pengelola surau, pemerintah juga memberikan peluang kepada para fakih untuk ikut belajar pada program pendidikan kesetaraan paket A setara SD / MIN, paket B setara SLTP/ MTs dan paket C setara SMA/ Aliyah mempunyai sertifikat kesetaraan yang diakui pemerintah. Kebijakan tersebut memberi harapan kepada alumni surau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan formal atau menjadi pegawai di kantor-kantor pemerintah dan lembaga swasta lainnya. Tetapi kebijakan tersebut ditanggapi dingin oleh pengelola surau, kelihatannya mereka kurang setuju dengan intervensi pemerintah dalam lembaga pendidikannya. Yang mereka harapkan hanya bantuan dana, bukan ikut campur dalam bidang pendidian surau.
Dengan adanya wacana kembali ke surau, sudah seharunya ulama-ulama surau mempersiapkan diri untuk reaktualisasi pendidikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan zaman akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan surau. Oleh karena itu, reformasi, revitalisasi menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah.

Kajian ini menemukan, masih banyak surau-surau yang melaksanakan pendidikan Islam,  khususnya di Padang Pariaman yang dahulunya merupakan basis pendidikan surau. Dalam proses pembelajaran dan paham keagamaan yang dikembangkan, surau-surau tersebut masih termasuk lembaga pendidikan Islam tradisional yang belum terpengaruh oleh pembaruan. Namun dalam menyikapi perubahan pandangan masyarakat yang masih pragmatis dan materialistis ulama surau mulai membuka diri menerima campur tangan pemerintah dalam meningkatkan status murid-murid  surau melalui penyetaraan, dan juga memberi motivasi kepada murid-murid untuk memasuki jalur pendidikan formal diluar surau. Dengan demikian fakih yang belajar di surau terbagi kepada dua kelompok, yaitu fakih yang hanya belajar di surau semata dan fakih yang belajar di surau dan sekolah. Perubahan yang dilakukan ulama tersebut, nampaknya membahwa angin segar bagai pekembangan murid-murid surau. Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, surau masih punya banyak kekuatan untuk bertahan. Oleh karena itu surau yang ada bisa dijadikan  acuan untuk menggagas program kembali kesurau, jika yang dimaksud kembali ke surau adalah menempatkan surau dalam tungku tigo sajarangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar