SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER
DI PADANG PARIAMAN
Oleh. Munawaratul Ardi
BAB I PENDAHULUAN
Surau sebagai kultural masyarakat Minangkabau merupakan bangunan
yang terpisah dari rumah gadang. Pada awalnya surau berfungsi sebagai tempat
tidur, berkumpul, bermusyawarah, belajar adat istiadat dan lainnya. Dengan
datangnya Islam, surau megalami islamisasi dan surau menjadi pusat pengembangan
Islam. Setelah Syekh Burhanuddin kembali dari belajar agama di Aceh, beliau
menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam serta membentangkan jaringan
pendidikan surau ke berbagai daerah melalui murid-muridnya.
Surau merupakan salah satu institusi pendidikan
utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan merupakan ciri khas serta lambang
keberadaan suatu suku. Pada awalnya surau dibangun untuk tempat beribadah dan
kemudian menjadi tempat bermalam, surau
mempunyai dua makna. Pertama, bermalam berarti tidur dan istirahat di malam hari. Kedua,
bermalam berarti belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Belajar dalam konteks
ini tidak dapat diartikan sebagai bentuk
atau proses pendidikan seperti yang dilakukan sekarang. Belajar sebagai proses
pendewasaan generasi muda yang repsentatif dan pemimpin yang
bertanggung jawab.
Ketika Islam datang ke Minangkabau, surau
mengalami perubahan yang mendasar yakni pengislamisasian fungsi surau dari ritualisasi
hinduisme-hinduisme kepada islam. Bahkan setelah Syekh Burhanuddin Ulakan menjadi
ulama, surau dijadikannya sebagai institusi pendidikan Islam sejenis ribat. Surau-surau seperti ini berskembang ke
berbagai pelosok Minangkabau dan melahirkan ulama-ulama terkenal. Kedatangan Islam
ke-Minangkabau menyempurnakan pendidikan lokal yang sudah ada. Surau tidak
hanya melahirkan tokoh-tokoh adat yang arif bijaksana tetapi melahirkan
tokoh-tokoh adat yang beragama dan ulama yang ahli adat.
Namun setelah dasarwarsa abad 20, surau sebagai
mesin pencetak ulama mengalami kemunduran yang berkepanjangan. Surau tidak siap
menghadapi perubahan-perubahan mentalitas masyarakat Minangkabau yang terjadi
sedemikian cepat karena dipicu modernisasi yang cendrung westernisasi
dan materialistis. Surau tidak punya menejemen yang kuat dan terfokus
untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Beberapa hasil penelitian
mengatakan bahwa fungsi surau tidak lebih sebagai tempat beribadah semata,
sementara surau besar yang melaksanakan pendidikan tinggi seperti di darek
sudah rontok dan hampir lenyap.
Ironisnya disaat surau sudah lenyap, memori tentang surau muncul
kembali. Otonomi daerah mengingatkan masyarakat Minangkabau untuk menghidupkan
suatu yang hampir mati. Himbauan kesurau mulai digaungkan, bahkan pemerintah
daerah Sumatera Barat ikut mendukung usaha tersebut dengan mengeluarkan perda
tentang “ Gerakan Kembali Ke Surau”. Yang menjadi masalah, masih adakah surau,
bagaimana kondisi surau yang ada dan kenapa surau itu bisa bertahan?. Masalah
ini dikaji berbagai pendekatan sosiologis, antropologis, histories dan
kependidikan dengan menggunakan analitis-kritis. Studi tentang kondisi, dan
kajian terhadap kemampuan surau bertahan
mempunyai relevansi dengan gerakan
kembali ke suarau yang sedang disosialisasikan.
Metode penelitian ini merupakan penelitian
lapangan dan bersifat deskripsit kualitatif. Namun karena surau terkait dengan
masyarkat dan budaya, maka dalam menulsuri fenomena surau, spenulis perpedoman
kepda teori-terori perubahan sosial dan
kebudayaan. Fokus wilayah yaitu pada surau yang mengkaji kitab kuning, sekitar
31 surau yang berada ditujuh kecamatan di Padang Pariaman. Intrumen pengumpulan
data yaitu studi kepustakaan, observasi, wawancara. Penelitiaan ini menggunakan
analisis kualitatif. Melalui analisis ini, rekonstruksi tradisi surau dapat
dilakukan dengan menunjukkan setting sosio-historis-nya.
BAB II PARIAMAN RANTAU PESISIR
MINANGKABAU
Secara etimologi, asal kata “ Minangkabau” masih diperselisihkan. Para ahli sepakat
meegatakan, minangkabau merupakan nama salah satu suku bangsa di Indonesia yang
bertempat tinggal di sebagaian besar wilayah Sumatera Barat. Minangkabau sering
disingkat degan “minang” dan masyarakatnya disebut “orang minang” kapan muncul
dan dari mana asalnya, masih diperdebatkan pakar sejarah. Perdebatan terjadi
karena kurangnya data tertulis yang dapat menjelaskan tentang itu, kecuali dari
tambo-tambo dan kaba-kaba yang diwarikan secara oral, sehingga muncul
kepercayaan asal nenek moyang orang miang dari kayangan, turunnan bangsa dewa
dan mingakabu dahulunya sebuah kerajaan besar, pecahan dari raja-raja turunan sang sapurba yang turun
dari bukit - maha meru (palembang), keturunan
maha raja diraja, turun dari puncak gunung merapi yang datang dari tanah
hindustan. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak membahas segala susuatu yang
berhubungan degan sejarah asal muasal suku dan kerajaan minangkabau secara spesifik, kecuali bila hal tersebut
dianggap penting. Penulis sejarah yang membagi minangkabau kepada tiga bagian,
menamakan daerah Pariaman dengan
pesisir. Tetapi yang membagi kepada dua wilayah, maka Pariaman disebut rantau,
tidak jarang juga orang menggabungkan kedua julukan tersebut” rantau pesisir”
karena merupakan daerah perantauan dan terletak di pesisir pantai.
Gambaran awal masyarakat pesisir Minangkabau,
bahwa wilayah Minangkabau lebih luah dari pada wilayah propinsi Sumatera Barat
sekarang, terdiri dari propinsi Sumatera Barat, sebagian Riau dan Jambi. Diduga
abad ke-14 dan ke15, kerajaan Minagkabau meliputi seluruh wilayah Sumatera
Tengah, antara Palembang dan sungai siak di sebelah timur, kerajaan Mandjudto dan
sungai Singkel di Barat.
Sudah menjadi pendapat umum, sebelum islam datang
agama yang berkembang dan dianut masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha
yang berasal dari India. Tetapi para sarjana kelihatan ragu-ragu mengenai
tempat dan proses pengebaran kedua agama tersebut. Apakah seluruh rakyat dan
semua daerah atau terbatas pada daerah dan kalangan elit tertentu saja.
Berdasarkan beberapa pendapat sejarawan di
atas, dapat dikatakan bahwa islam masuk ke Miangkabau melalui dua pintu, yaitu
pintu timur dari malaka melalui sungai siak dan sungai kampar terus ke pusat Minangkabau.
Jalur kedua dari aceh melalui pisisir Barat
Pariaman. Dari kedua jalur tersebut, kelihatannya jalur barat lebih berpengaruh
darir kpada jalur timur. Hal ini dapat dilihat dari diktum” syara’ mandaki adat
menurun” dikatakan syara’ mandaki, karena syara’ datang dari dataran
rendah’pesisir dibawa kedataran tinggi “darek’, sementara adat datang dari
darek menururun ke “kepisisir”. Oleh kerena itu terdapat perbedaan pengaruh
keduanya. Bagian pesisir pengaruh syara’ lebih kuat dari pengaruh adat,
sedangkan bagian darek pengaruh adat lebih kuat dari pengaruh syara’ dengan
terjadinya perpaduan antar adat dan
agama, maka agama islam akhirnya menjadi puncak dari adat Minangkabau sebagaiana
terangkai dalam pepatah, “tali bapilin tigo” yaitu, adat, syara” dan undang
yang tersunting dalam pepatah minang “Adat Bersendi Syara”, Dan Syara
Bersendi Kitabullah, Syara’ Mengata, Adat Memakai, Syara’ Bertelanjang, Adat
Bersesamping, Adat Menurun, Syara’mendaki. Adat Nan Kawi, Syara’‘ Nan Lazim”.
BAB III SURAU DALAM PERSFEKTIF SEJARAH
Surau Periode Awal, rata-rata ulama surau menngatakan bahwa, kata
“surau” berasal dari bahasa Arab, terambil dari akar kata “syura” yang berarti
permusyawaratan, hal bermusyawarah, atau berdiskusi dan berkonsultasi. Syura
atau musyawarah mengandung makna saling menjelaskan, merundingkan atau saling
meminta dan bertukar pendapat menganai suatu perkara. Karena kebiasaan orang
minang merobah, menambah atau mengurangi bunyi dan huruf pada kata yang di
ambil, maka kata syura berubah menjadi surau. Seperti halnya
kemana menjadi kama, lapo menjadi lapau. Pendapat ulama surau di
atas memberi kesan bahwa surau eksis dan dikenal masyarakat setelah islam masuk
dan berkembang di Minangkabau. Dengan demikian surau dengan segala bentuk, fungsi
dan sistemnya berasal dari arab yang dibawa dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya Islam.
Demikian juga kamus “besar bahasa indonesia” dikatakan “surau” berasal dari bahasa melayu
yang sudah menjadi bahasa indonesia. “Surau” berarti tempat (rumah) umat islam
melakukan ibadahnya, bersembahyang dan
mengaji”.
Azra juga mengatakan “surau” adalah istilah melayu indonesia dan
kontraksinya “suro” yang berarti “tempat” atau “tempat sembahyang”. Menurut
pengertian asalnya “surau” adalah
bangunan kecil tempat pengembahan arwah nenek moyang. Perenyataan ini
berdasarkan kepada letak surau awal yang dibangun di pucak bukit atau tempat yang lebih tinggi dari lingkungannya, kebnyakan surau
memiliki puncak gonjiong yang selain
mereflekksikan kepercayaan mitos tertentu, juga belakangan di pandang sebgai
simbol adat, selain itu snagat mungkin, surau berkaitan dengan kebudayaan
pedesaan, meskipun dalam perkemngan lebih akhir, suaru dapat pula ditemukan
didaerah urban. Selain dari bentuk bangunan, azra juga punya alasan lain bahwa
istilah surau tidak hanya ditemukan di
minagkabau, tetapi juga di daerah –daerah melayu asia tenggara lainnya
seperti;-Semenanjung Malaysia Sumatera Tengah dan Patani (Thailand Selatan).
Fungsi surau lebih dari sekedar tempat kegiatan
keagamaan. Menurut ketentuan adat, surau berfungsi sebagai tempat berkumpul para
remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda. Adat menentukan bahwa anak
laki-laki tak ada kamar di rumah orang tua mereka, oleh karena itu mereka
bermalam di surau. Surau menjadi amat penting bagi pendewasaan generasi muda
minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan, agama maupun keterampilan praktis
lainnya.
Kalau awalnya surau dibangun hanya sebagai
tempat tinggal, tempat tidur bagi kaum laki-laki dewasa, duda atau tua dari
keluarga satu suku atau kaum, setelah islam masuk dan tepatnnnya setelah Syekh
Burhanuddin kembali belajar dari Aceh, surau bertambah fungsi menjadi pusat
pendidikan dan pengembangan Islam yang ditempati para murid yang dari berbagi
suku dan daerah.
Dalam perjalanan yang sangat panjang, surau
pernah mengalami masa jaya; surau tumbuh dan berkembang hampir di setiap desa
dan didiami oleh banyak penghuni, namun diawal abad XIX, surau mulai mengalami
kemunduran yang berkepanjangan, hingga nyaris hilang. Kemunduran surau ini
disebabkan oleh bayak faktor , antara lain; perselisihan antar penganut tarekat,
perang paderi, intervensi belanda, munculnya kaum pembaru, tumbuhnya budaya
merantau, berubah tatanan keluarga, perubahan politik nagari. Maka
faktor-faktor diatas merupakan penyebab surau semakin tersingkir dan terpinggir.
Surau kehilangan banyak fungsi, kecuali hanya sebagai tempat beribadah dan
pengajian anak-anak. Sedangkan surau sebagai lembaga sosial budaya dan pendidikan
nyari hilang sama sekali.
Dalam perjalanannya, surau banyak mendapat
tantangan. Tantangan yang nyaris merobohkan surau datang dari berbagai arah.
Terpaan angin pembaruan yang dihembuskan oleh belanda, tokoh-tokoh permbaru,
pemerintah orde baru dan lainnya telah membuat surau semakin terpinggir. Berapa
banyak surau-surau besar yang dulunya punya murid ratusan bahkaan ribuan orang,
dengan datangnya berbagai goncangan, surau-surau tersebut rontok. Surau yang
tinggal tidak lebih dari surau yang berfungsi sebagai tempat beribadat dan
mengaji anak-anak. Walaupun demikian, kenyataanya surau-surau di Padang
Pariaman tidak tersentuh oleh arus gelombang
pasang kehancuran. Sampai saat ini masih banyak di temui surau yang
eksis dan bertahan dengan ketradisionalannya di tengah maraknya pendidikan
modern. Surau-surau tersebut masih
melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai lembaga pendidikan konvensional yaitu
transmisi dan transfertasi ilmu pengetahuan agama Islam, pemeliharaan tradisi
Islam, penciptaan kader-kader ulama.
BAB IV SURAU TRADISIONAL PADA MASA KONTOMPORER
Dalam kamus bahasa indonesia, kata’kontemporer” berarti “pada waktu
yang sama” dan “pada masa kini”. Surau kontemporer adalah surau masa kini. Yang
dimaksud “surau pada dimasa kontemporer” adalah surau-surau yang masih eksis
melaksanakan pengajian kitab (tafaqquh fi al-din) dengan segala
dinamikanya di tengah gelombang modernisasi
Secara historis, keberadaan lembaga pendidikan
di indonesia berula dengan adanya lembaga pendidikan informal dan non-formal
yang terdapat dalam lingkungan keluarga (rumah tangga) dan masyarakat seperti
surau, pesantren dan dayah atau meunasah. Lembaga-lembaga
tersebut kemudian berubah menjadi lembaga pendidikan islam bersamaan dengan
penyebaran islam pada zaman permualaan. Sedangkan pendidikan dalam keluarga
berlangsung seiring dengan warisan nilai-nilai tradisi islam yang bersifat
internalisasi, yaitu proses pendidikan yang berlangsung dalam keseharian
melalui interaksi sosial.
Taufik Abdulah mengatakan, yang dimasud dengan
tradisionalis di Sumatera Barat adalah mereka yang ingin mempertahankan dan
melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akmodasi oleh adat. Menurut
orientasi keagamaan masyarakat minangkabau pada dasarnya terbagi kepada tiga
corak, 1. mereka yang ingin memperthankan dan melanjutkan tradisi agama yang
telah mendapat akonodasi oleh adat, mereka ini lebi popule r dengan sebutan kelompok
tradionalis, 2. Aliran baru yag lebih bersifat ortodoks yang pada mulanya diperkenalkan
oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, seorang ulama Minangkabau yang pernah
menjadi imam dan qadhi di Mesjid Al-Haram pada awal abad 20, 3. Kelompok
kebangkitan baru, yaitu suatu aliran yang lebih dikenal dengan “modernisme”
atau di Minangkabau disebut “kaum muda”.
Pendidikan Islam tradisional, adalah suatu proses pembinaan, bimbingan dan
pentransferan nilai-nilai ajaran Islam yang
selalu berpedoman kepada norma-norma dan adat kebiasaan yang sudah
berlaku secara turun-temurun, baik dari segi sistem pendidikan maupun ilmu yang
ditransfer kepada murid. Sedang pendidikan islam tradisional memiliki
karakteristik tersendiri.
Surau, rangkang yang mempunyai persamaan arti
dengan pondok dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional.
Penbedaan kedua lembaga tersebut dapat dilihat dari komponen-komponen yang ada
pada masing-masing instusi. Surau, rangkang dan pondok paling tidak mempunyai
lima elmen dasar yaitu pondok sebagai asrama santri, mesjid sebagai tempat
peribadatan dan pendidikan, penegajaran kitab-kitab islam klasik, santri sebgai
perserta didik dan kiyai sebagai pimpinan sekaligus sebagai pengajar.
Karakter lain lembaga pendidikan Islam tradisonal dapat dilihat
dari sistem pembelajaran yang berlaku antaranya pendidikan tradisional
non-klasik. Masing-masing murid datang menghadap, membawa kitab dan belajar
kepada guru. Jejang pendidikan tidak
ditentukan oleh batas usia. Sebagai tujuan pendidikan untuk memahami agama,
Pembelajaran difokuskan kepada mata pelajaran agama semata. Pendidiakan tradisional
tidak punya kurikulum seperti pendidikan modern. Murid-murid yang telah tamat
tidak diberikan ijazah, seperti pendidikan formal dan tidak dipungut biaya.
Di dunia kontenporer sekarang terdapat Surau
Ringan-Ringan berbeda dengan surau-surau
yang lain di Pariaman. Surau Ringan-Ringan lebih inovatif dan berkembang
dari surau-surau lainnya. Surau ini mengadakan inovasi dalam bidang pendidikan,
seperti menerima murid perempuan dan menerima murid perempuan ini semenjak
tahun 1993. Menggunakan pendekatan belajar klasikal dan pembelajaran pasca
tuanku yang disebut tingkatnya bustan al-muhaqqiqin. Pembelajaran pasca tuanku
ini dimaksudkan untuk mendalami Islam secara konprehensif. Inovasi dengan memasukan
pembelajaran umum( bahasa inggris, matematika, sejarah, dan lain-lain) Surau ini
juga sudah punya asrama untuk orang siak dua buah.
Apakah surau Ringan-Ringan bisa menjadi motor
penggerak bagi kemajuan surau di Pariman, atau akan berbeda senderinya dari
surau-surau yang lain, kiranya masih butuh waktu untuk melihat perkembangannya.
Sekalipun surau tersebut sudah mengadakan terobosan-terobosan baru, namun innovasi
yang dibawa baru langkah awal yang perlu kepada pengaembangan-pengembangan yang
lebih kongrit.
BAB V KEMBALI KE SURAU
Surau yang mengalami pembaharuan pendidikan Islam, yang dalam
pembaruan ini terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh ulama pembaharu.
Ulama-ulama yang mengadakan pembaruan di darek hampir rata-rata ulama yang
memperoleh pendidikan luar, mekah khususnya. Dan kebanyakan mereka adalah murid
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Sementara ulama surau di Padang Pariaman
tidak ada yang belajar ke mekah kecuali Sutan Darab. Karenanya ulama surau di
Padang Pariaman agaknya tidak memiliki wawasan tentang pembaruan pendidikan
Islam.
Surau dan pesantren merupakan budaya asli
indonesia yang sudah ada sejak zaman hindu budha. Tidak diketahui secara pasti
kapan kedua lembaga itu pertama kali muncul. Namun setelah islam masuk dan
berkembang, surau dan pesantren menjadi institusi pendidikan dan pengajaran
agama islam. Surau merupakan lembaga yang ada di minangkabau sedangkan
pesantren tumbuh dalam masyarakat jawa yang involutif tetap bertahan dan bahkan
berkembang sampai saat ini.
Sebagai lembaga pendidikan islam, surau dan
pesanteren mempunyai makna yang sama. Tetapi sebagai budaya, surua dan pesantren
dua hal yang berbeda. Surau tumbuh di tengah
masyarakat Minangkabau yang diwarnai oleh budaya masyarakat Minangkabau
itu sediri. Fungsi sosiologis surau tentu saja berbeda dengan fungsi sosiologis
pesantren. Oileh karena itu secara sosial budaya surau tidak bisa digantikan
oleh pesanteren, kecuali kalau budaya masyakat minangkabau itu sendiri juga
terkikis. Namum banyaknya surau yang masih eksis walaupun istilah suarau
sebagai snomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan
pendidikan islam secara nasional. Kelihatannya surau masih mampu bertahan.
Surau bisa saja mengadopsi tradisi pensantren dalam sistem pendidikan islam,
namun sebagai budaya, suarau tidak bisa digantikan pesantren.
Kembali kanagari merupakan pencerahan bagi surau,
karena suarau merupakan syarat bersdirinya sebuah nagari dan merupakan bagian
dari tali bapilin tigo dimana nagari akan menjadi kuat jika umara, ulama dan ninik mamak tetap dalam satu
kesatuan yang utuh.
Meskipun gerakan kemabli ke surau masih dalam
bentuk wacana, otonomi daerah yang bergulir, setidaknya telah mebawa angin
segar terhadap aset kultural yang sudah lama digilas oleh arus modernisasi
yakni kandasnya nagari sebagai pemerintahan demokratif bagi masyarkat minangkabau
yang beraarti hilangnya fungsi surau dalam tungku tigo sajarangan.
Gerkan kembali ke surau sudah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya surat
keputusan gubernur tanggal 26 maret 2003 dengan menjadikan surau sebagi sentral
kegiatan keagamaan. Praksis kembali kesurau tersebut baru diterapkan di kota padang
dengan menjadikan surau sebgai puat kegiatan keagamaan. Adapun bentuk
kegiatannya baru berupa taman pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyah Awaliyah,
didikan subuh dan pesantren kilat.
Henbusan angin segar yang datang bersamaan
dengan Otonomi Daerah, yakni kembali ke nagari juga berarti kembali ke surau,
ikut menggairahkan pendidikan surau. Undang-undang kembali kenagari ikut
memperkuat posisi surau dalam kultur dan struktur masyarakat Minangkabau. Surau
kembali menjadi wacana public.
Bukti lain perhatian pemerintah terhada
pendidikan surau adalah dengan memberikan bantuan dana berupa bantuan modal
usaha yang dikelola dan dikebangkan secara berkelompok oleh orang siak yang
mengikuti program. Bentuk usaha yang dikembangkan disesuaikan dengan skill
yang mereka miliki atau arahan dari guru pembina. Perhatian pemerintah ini
merupakan kebajikan dalam upaya peningkatan status pendidikan suarau. Meskipun
penyetaraan belum menunjukkan pengakuan terhadap kualitas ilmu agama yang
dimiliki tamatan surau, namun usaha
tersebut merupakan langkah awal peningkatan status pendidikan surau.
Kelemahan dan kekuatan surau di atas
menunjukkan bahwa kekuatan surau masih lebih banyak jika dibandingkan dengan
kelemahan yang ada. Dan berarti bahwa surau masih sangat dibutuhkan masyarakat
dan masih mampu bertahan dengan ketradisionalnya tanpa haru berubah menjadi
pesantren. Persoalannya adalah bagaimana ulama surau mampu mengembalikan citra
dan mensosialisasikan pendidikan surau, sehingga surau-surau benar-benar dapat
menjadi gudang ulam yang mampu mengatasi krisis agama di Sumatera Barat
khususnya dan indonesia umumnya.
Menurut hemat penulis, walaupun istilah surau
sebagai nomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan pendidikan islam
secara nasional, akan tetapi harapan mepertahankannya secara lokal masih tersbuka,
karena Padang Pariaman yang dikenal sebagai basis pendidikan surau masih
mempunyai banyak surau yang menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan
islam tradisional ditengah maraknya pendidikan sekuler, masdrasah dan
pesantren-pesantren modern. Pengakuan masyarakat terhadap alumni surau sebagai
elit desa, pemahaman bahasa arab dan ilmu agama islam tuaku yang cukup baik dan
masih banyak generasi muda yang mau belajar di surau, masih banyak ditemui fakih
(murid) yang berkain sarung, kaki beralaskan
sandal, peci hitam menutupi kepala dan buntil disandang di bahu, pergi meminta sedekah ke rumah-rumah penduduk
atau di pasar-pasar setiap hari kamis merupakan indikasi bahwa surau masih
diminati dan eksis di tengah masyarakat.
BAB VI PENUTUP
Kemampaun bertahan ini tidak luput dari
komitmen dan usaha para tuanku dan dukungan masyarakat untuk mengembangkan
pendidikan surau dengan melempar jaringan surau ke berbagai daerah, terutama
daerah pedesaan. Setiap fakih (murid) yang sudah berhasil menamatkan
pendidikannya, dikembalikan ke daerahnya masing-masing atau di daerah lain dan
dengan bantuan masyarakat, tuanku-tuanku muda dibangunkan surau baru sebgai
tempat tinggal dan mengajar.
Dan yang lebih menggembirakan, di awal abad
ke-21 surau-surau di Padang Pariaman mulai bangkit. Ulama-ulama surau mengadakan
terobosan-terobosan baru untuk menarik banyak murid dengan meberi izin kepada
murid-muridnya belajar di sekolah-sekolah formal, serta merubah jadwal belajar
di surau, disesuaikan dengan waktu belajar di sekolah. Langkah yang dilakukan
ulama lama surau tersebut mendapat respon positif, jumlah input fakih
semakin meningkat.
Selain usaha dari pengelola surau, pemerintah
juga memberikan peluang kepada para fakih untuk ikut belajar pada
program pendidikan kesetaraan paket A setara SD / MIN, paket B setara SLTP/ MTs
dan paket C setara SMA/ Aliyah mempunyai sertifikat kesetaraan yang diakui
pemerintah. Kebijakan tersebut memberi harapan kepada alumni surau untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan formal atau menjadi pegawai di kantor-kantor
pemerintah dan lembaga swasta lainnya. Tetapi kebijakan tersebut ditanggapi
dingin oleh pengelola surau, kelihatannya mereka kurang setuju dengan
intervensi pemerintah dalam lembaga pendidikannya. Yang mereka harapkan hanya
bantuan dana, bukan ikut campur dalam bidang pendidian surau.
Dengan adanya wacana kembali ke surau, sudah
seharunya ulama-ulama surau mempersiapkan diri untuk reaktualisasi pendidikan
surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan
zaman akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan surau. Oleh karena itu,
reformasi, revitalisasi menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah.
Kajian ini menemukan, masih banyak surau-surau
yang melaksanakan pendidikan Islam,
khususnya di Padang Pariaman yang dahulunya merupakan basis pendidikan
surau. Dalam proses pembelajaran dan paham keagamaan yang dikembangkan,
surau-surau tersebut masih termasuk lembaga pendidikan Islam tradisional yang
belum terpengaruh oleh pembaruan. Namun dalam menyikapi perubahan pandangan
masyarakat yang masih pragmatis dan materialistis ulama surau
mulai membuka diri menerima campur tangan pemerintah dalam meningkatkan status
murid-murid surau melalui penyetaraan,
dan juga memberi motivasi kepada murid-murid untuk memasuki jalur pendidikan
formal diluar surau. Dengan demikian fakih yang belajar di surau terbagi
kepada dua kelompok, yaitu fakih yang hanya belajar di surau semata dan fakih
yang belajar di surau dan sekolah. Perubahan yang dilakukan ulama tersebut,
nampaknya membahwa angin segar bagai pekembangan murid-murid surau. Sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional, surau masih punya banyak kekuatan untuk
bertahan. Oleh karena itu surau yang ada bisa dijadikan acuan untuk menggagas program kembali
kesurau, jika yang dimaksud kembali ke surau adalah menempatkan surau dalam tungku
tigo sajarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar