Jumat, 18 November 2016

SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER DI PADANG PARIAMAN

SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER DI PADANG PARIAMAN
Oleh. Munawaratul Ardi

BAB I  PENDAHULUAN
Surau sebagai kultural masyarakat Minangkabau merupakan bangunan yang terpisah dari rumah gadang. Pada awalnya surau berfungsi sebagai tempat tidur, berkumpul, bermusyawarah, belajar adat istiadat dan lainnya. Dengan datangnya Islam, surau megalami islamisasi dan surau menjadi pusat pengembangan Islam. Setelah Syekh Burhanuddin kembali dari belajar agama di Aceh, beliau menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam serta membentangkan jaringan pendidikan surau ke berbagai daerah melalui murid-muridnya.
Surau merupakan salah satu institusi pendidikan utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan merupakan ciri khas serta lambang keberadaan suatu suku. Pada awalnya surau dibangun untuk tempat beribadah dan kemudian menjadi tempat bermalam,  surau mempunyai dua makna. Pertama, bermalam berarti  tidur dan istirahat di malam hari. Kedua, bermalam berarti belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Belajar dalam konteks ini  tidak dapat diartikan sebagai bentuk atau proses pendidikan seperti yang dilakukan sekarang. Belajar sebagai proses pendewasaan generasi muda yang repsentatif dan pemimpin yang bertanggung  jawab.
Ketika Islam datang ke Minangkabau, surau mengalami perubahan yang mendasar yakni pengislamisasian  fungsi surau dari ritualisasi hinduisme-hinduisme kepada islam. Bahkan setelah Syekh Burhanuddin Ulakan menjadi ulama, surau dijadikannya sebagai institusi pendidikan Islam sejenis ribat.  Surau-surau seperti ini berskembang ke berbagai pelosok Minangkabau dan melahirkan ulama-ulama terkenal. Kedatangan Islam ke-Minangkabau menyempurnakan pendidikan lokal yang sudah ada. Surau tidak hanya melahirkan tokoh-tokoh adat yang arif bijaksana tetapi melahirkan tokoh-tokoh adat yang beragama dan ulama yang ahli adat.
Namun setelah dasarwarsa abad 20, surau sebagai mesin pencetak ulama mengalami kemunduran yang berkepanjangan. Surau tidak siap menghadapi perubahan-perubahan mentalitas masyarakat Minangkabau yang terjadi sedemikian cepat karena dipicu modernisasi yang cendrung westernisasi dan materialistis. Surau tidak punya menejemen yang kuat dan terfokus untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Beberapa hasil penelitian mengatakan bahwa fungsi surau tidak lebih sebagai tempat beribadah semata, sementara surau besar yang melaksanakan pendidikan tinggi seperti di darek sudah rontok dan hampir lenyap.
Ironisnya disaat  surau sudah lenyap, memori tentang surau muncul kembali. Otonomi daerah mengingatkan masyarakat Minangkabau untuk menghidupkan suatu yang hampir mati. Himbauan kesurau mulai digaungkan, bahkan pemerintah daerah Sumatera Barat ikut mendukung usaha tersebut dengan mengeluarkan perda tentang “ Gerakan Kembali Ke Surau”. Yang menjadi masalah, masih adakah surau, bagaimana kondisi surau yang ada dan kenapa surau itu bisa bertahan?. Masalah ini dikaji berbagai pendekatan sosiologis, antropologis, histories dan kependidikan dengan menggunakan analitis-kritis. Studi tentang kondisi, dan kajian terhadap  kemampuan surau bertahan mempunyai  relevansi dengan gerakan kembali ke suarau yang sedang disosialisasikan.
Metode penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan bersifat deskripsit kualitatif. Namun karena surau terkait dengan masyarkat dan budaya, maka dalam menulsuri fenomena surau, spenulis perpedoman kepda teori-terori  perubahan sosial dan kebudayaan. Fokus wilayah yaitu pada surau yang mengkaji kitab kuning, sekitar 31 surau yang berada ditujuh kecamatan di Padang Pariaman. Intrumen pengumpulan data yaitu studi kepustakaan, observasi, wawancara. Penelitiaan ini menggunakan analisis kualitatif. Melalui analisis ini, rekonstruksi tradisi surau dapat dilakukan dengan menunjukkan setting sosio-historis-nya.

BAB II PARIAMAN RANTAU PESISIR MINANGKABAU
Secara etimologi, asal kata “ Minangkabau”  masih diperselisihkan. Para ahli sepakat meegatakan, minangkabau merupakan nama salah satu suku bangsa di Indonesia yang bertempat tinggal di sebagaian besar wilayah Sumatera Barat. Minangkabau sering disingkat degan “minang” dan masyarakatnya disebut “orang minang” kapan muncul dan dari mana asalnya, masih diperdebatkan pakar sejarah. Perdebatan terjadi karena kurangnya data tertulis yang dapat menjelaskan tentang itu, kecuali dari tambo-tambo dan kaba-kaba yang diwarikan secara oral, sehingga muncul kepercayaan asal nenek moyang orang miang dari kayangan, turunnan bangsa dewa dan mingakabu dahulunya sebuah kerajaan besar, pecahan dari  raja-raja turunan sang sapurba yang turun dari bukit - maha meru (palembang),  keturunan maha raja diraja, turun dari puncak gunung merapi yang datang dari tanah hindustan. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak membahas segala susuatu yang berhubungan degan sejarah asal muasal suku dan kerajaan minangkabau  secara spesifik, kecuali bila hal tersebut dianggap penting. Penulis sejarah yang membagi minangkabau kepada tiga bagian, menamakan  daerah Pariaman dengan pesisir. Tetapi yang membagi kepada dua wilayah, maka Pariaman disebut rantau, tidak jarang juga orang menggabungkan kedua julukan tersebut” rantau pesisir” karena merupakan daerah perantauan dan terletak di pesisir pantai.
Gambaran awal masyarakat pesisir Minangkabau, bahwa wilayah Minangkabau lebih luah dari pada wilayah propinsi Sumatera Barat sekarang, terdiri dari propinsi Sumatera Barat, sebagian Riau dan Jambi. Diduga abad ke-14 dan ke15, kerajaan Minagkabau meliputi seluruh wilayah Sumatera Tengah, antara Palembang dan sungai siak di sebelah timur, kerajaan Mandjudto dan sungai Singkel di Barat.
Sudah menjadi pendapat umum, sebelum islam datang agama yang berkembang dan dianut masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha yang berasal dari India. Tetapi para sarjana kelihatan ragu-ragu mengenai tempat dan proses pengebaran kedua agama tersebut. Apakah seluruh rakyat dan semua daerah atau terbatas pada daerah dan kalangan elit tertentu saja.
Berdasarkan beberapa pendapat sejarawan di atas, dapat dikatakan bahwa islam masuk ke Miangkabau melalui dua pintu, yaitu pintu timur dari malaka melalui sungai siak dan sungai kampar terus ke pusat Minangkabau. Jalur kedua dari aceh  melalui pisisir Barat Pariaman. Dari kedua jalur tersebut, kelihatannya jalur barat lebih berpengaruh darir kpada jalur timur. Hal ini dapat dilihat dari diktum” syara’ mandaki adat menurun” dikatakan syara’ mandaki, karena syara’ datang dari dataran rendah’pesisir dibawa kedataran tinggi “darek’, sementara adat datang dari darek menururun ke “kepisisir”. Oleh kerena itu terdapat perbedaan pengaruh keduanya. Bagian pesisir pengaruh syara’ lebih kuat dari pengaruh adat, sedangkan bagian darek pengaruh adat lebih kuat dari pengaruh syara’ dengan terjadinya perpaduan antar  adat dan agama, maka agama islam akhirnya menjadi puncak dari adat Minangkabau sebagaiana terangkai dalam pepatah, “tali bapilin tigo” yaitu, adat, syara” dan undang yang tersunting dalam pepatah minang “Adat Bersendi Syara”, Dan Syara Bersendi Kitabullah, Syara’ Mengata, Adat Memakai, Syara’ Bertelanjang, Adat Bersesamping, Adat Menurun, Syara’mendaki. Adat Nan Kawi, Syara’‘ Nan Lazim”.

BAB III SURAU DALAM PERSFEKTIF SEJARAH
Surau Periode Awal, rata-rata ulama surau menngatakan bahwa, kata “surau” berasal dari bahasa Arab, terambil dari akar kata “syura” yang berarti permusyawaratan, hal bermusyawarah, atau berdiskusi dan berkonsultasi. Syura atau musyawarah mengandung makna saling menjelaskan, merundingkan atau saling meminta dan bertukar pendapat menganai suatu perkara. Karena kebiasaan orang minang merobah, menambah atau mengurangi bunyi dan huruf pada kata yang di ambil, maka kata syura berubah menjadi surau. Seperti halnya kemana menjadi kama, lapo menjadi lapau. Pendapat ulama surau di atas memberi kesan bahwa surau eksis dan dikenal masyarakat setelah islam masuk dan berkembang di Minangkabau. Dengan demikian surau dengan segala bentuk, fungsi dan sistemnya berasal dari arab yang dibawa dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya Islam.
Demikian juga kamus “besar bahasa indonesia”  dikatakan “surau” berasal dari bahasa melayu yang sudah menjadi bahasa indonesia. “Surau” berarti tempat (rumah) umat islam melakukan ibadahnya,  bersembahyang dan mengaji”.
Azra juga mengatakan “surau” adalah istilah melayu indonesia dan kontraksinya “suro” yang berarti “tempat” atau “tempat sembahyang”. Menurut pengertian asalnya “surau”  adalah bangunan kecil tempat pengembahan arwah nenek moyang. Perenyataan ini berdasarkan kepada letak surau awal yang dibangun di pucak bukit atau  tempat yang lebih tinggi  dari lingkungannya, kebnyakan surau memiliki  puncak gonjiong yang selain mereflekksikan kepercayaan mitos tertentu, juga belakangan di pandang sebgai simbol adat, selain itu snagat mungkin, surau berkaitan dengan kebudayaan pedesaan, meskipun dalam perkemngan lebih akhir, suaru dapat pula ditemukan didaerah urban. Selain dari bentuk bangunan, azra juga punya alasan lain bahwa istilah surau tidak hanya ditemukan  di minagkabau, tetapi juga di daerah –daerah melayu asia tenggara lainnya seperti;-Semenanjung Malaysia Sumatera Tengah dan Patani (Thailand Selatan).
Fungsi surau lebih dari sekedar tempat kegiatan keagamaan. Menurut ketentuan adat, surau berfungsi sebagai tempat berkumpul para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda. Adat menentukan bahwa anak laki-laki tak ada kamar di rumah orang tua mereka, oleh karena itu mereka bermalam di surau. Surau menjadi amat penting bagi pendewasaan generasi muda minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan, agama maupun keterampilan praktis lainnya.
Kalau awalnya surau dibangun hanya sebagai tempat tinggal, tempat tidur bagi kaum laki-laki dewasa, duda atau tua dari keluarga satu suku atau kaum, setelah islam masuk dan tepatnnnya setelah Syekh Burhanuddin kembali belajar dari Aceh, surau bertambah fungsi menjadi pusat pendidikan dan pengembangan Islam yang ditempati para murid yang dari berbagi suku dan daerah.
Dalam perjalanan yang sangat panjang, surau pernah mengalami masa jaya; surau tumbuh dan berkembang hampir di setiap desa dan didiami oleh banyak penghuni, namun diawal abad XIX, surau mulai mengalami kemunduran yang berkepanjangan, hingga nyaris hilang. Kemunduran surau ini disebabkan oleh bayak faktor , antara lain; perselisihan antar penganut tarekat, perang paderi, intervensi belanda, munculnya kaum pembaru, tumbuhnya budaya merantau, berubah tatanan keluarga, perubahan politik nagari. Maka faktor-faktor diatas merupakan penyebab surau semakin tersingkir dan terpinggir. Surau kehilangan banyak fungsi, kecuali hanya sebagai tempat beribadah dan pengajian anak-anak. Sedangkan surau sebagai lembaga sosial budaya dan pendidikan nyari hilang sama sekali.
Dalam perjalanannya, surau banyak mendapat tantangan. Tantangan yang nyaris merobohkan surau datang dari berbagai arah. Terpaan angin pembaruan yang dihembuskan oleh belanda, tokoh-tokoh permbaru, pemerintah orde baru dan lainnya telah membuat surau semakin terpinggir. Berapa banyak surau-surau besar yang dulunya punya murid ratusan bahkaan ribuan orang, dengan datangnya berbagai goncangan, surau-surau tersebut rontok. Surau yang tinggal tidak lebih dari surau yang berfungsi sebagai tempat beribadat dan mengaji anak-anak. Walaupun demikian, kenyataanya surau-surau di Padang Pariaman tidak tersentuh oleh arus gelombang  pasang kehancuran. Sampai saat ini masih banyak di temui surau yang eksis dan bertahan dengan ketradisionalannya di tengah maraknya pendidikan modern.  Surau-surau tersebut masih melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai lembaga pendidikan konvensional yaitu transmisi dan transfertasi ilmu pengetahuan agama Islam, pemeliharaan tradisi Islam, penciptaan kader-kader ulama.

BAB IV SURAU TRADISIONAL PADA MASA KONTOMPORER
Dalam kamus bahasa indonesia, kata’kontemporer” berarti “pada waktu yang sama” dan “pada masa kini”. Surau kontemporer adalah surau masa kini. Yang dimaksud “surau pada dimasa kontemporer” adalah surau-surau yang masih eksis melaksanakan pengajian kitab (tafaqquh fi al-din) dengan segala dinamikanya di tengah gelombang modernisasi
Secara historis, keberadaan lembaga pendidikan di indonesia berula dengan adanya lembaga pendidikan informal dan non-formal yang terdapat dalam lingkungan keluarga (rumah tangga) dan masyarakat seperti surau, pesantren dan dayah atau meunasah. Lembaga-lembaga tersebut kemudian berubah menjadi lembaga pendidikan islam bersamaan dengan penyebaran islam pada zaman permualaan. Sedangkan pendidikan dalam keluarga berlangsung seiring dengan warisan nilai-nilai tradisi islam yang bersifat internalisasi, yaitu proses pendidikan yang berlangsung dalam keseharian melalui interaksi sosial.
Taufik Abdulah mengatakan, yang dimasud dengan tradisionalis di Sumatera Barat adalah mereka yang ingin mempertahankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akmodasi oleh adat. Menurut orientasi keagamaan masyarakat minangkabau pada dasarnya terbagi kepada tiga corak, 1. mereka yang ingin memperthankan dan melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akonodasi oleh adat, mereka ini lebi popule r dengan sebutan kelompok tradionalis, 2. Aliran baru yag lebih bersifat ortodoks yang pada mulanya diperkenalkan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, seorang ulama Minangkabau yang pernah menjadi imam dan qadhi di Mesjid Al-Haram pada awal abad 20, 3. Kelompok kebangkitan baru, yaitu suatu aliran yang lebih dikenal dengan “modernisme” atau di Minangkabau disebut “kaum muda”.
Pendidikan Islam tradisional,  adalah suatu proses pembinaan, bimbingan dan pentransferan nilai-nilai ajaran Islam yang  selalu berpedoman kepada norma-norma dan adat kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-temurun, baik dari segi sistem pendidikan maupun ilmu yang ditransfer kepada murid. Sedang pendidikan islam tradisional memiliki karakteristik tersendiri.
Surau, rangkang yang mempunyai persamaan arti dengan pondok dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Penbedaan kedua lembaga tersebut dapat dilihat dari komponen-komponen yang ada pada masing-masing instusi. Surau, rangkang dan pondok paling tidak mempunyai lima elmen dasar yaitu pondok sebagai asrama santri, mesjid sebagai tempat peribadatan dan pendidikan, penegajaran kitab-kitab islam klasik, santri sebgai perserta didik dan kiyai sebagai pimpinan sekaligus sebagai pengajar.
Karakter lain lembaga pendidikan Islam tradisonal dapat dilihat dari sistem pembelajaran yang berlaku antaranya pendidikan tradisional non-klasik. Masing-masing murid datang menghadap, membawa kitab dan belajar kepada guru.  Jejang pendidikan tidak ditentukan oleh batas usia. Sebagai tujuan pendidikan untuk memahami agama, Pembelajaran difokuskan kepada mata pelajaran agama semata. Pendidiakan tradisional tidak punya kurikulum seperti pendidikan modern. Murid-murid yang telah tamat tidak diberikan ijazah, seperti pendidikan formal dan tidak dipungut biaya.
Di dunia kontenporer sekarang terdapat Surau Ringan-Ringan berbeda dengan surau-surau  yang lain di Pariaman. Surau Ringan-Ringan lebih inovatif dan berkembang dari surau-surau lainnya. Surau ini mengadakan inovasi dalam bidang pendidikan, seperti menerima murid perempuan dan menerima murid perempuan ini semenjak tahun 1993. Menggunakan pendekatan belajar klasikal dan pembelajaran pasca tuanku yang disebut tingkatnya bustan al-muhaqqiqin. Pembelajaran pasca tuanku ini dimaksudkan untuk mendalami Islam secara konprehensif. Inovasi dengan memasukan pembelajaran umum( bahasa inggris, matematika, sejarah, dan lain-lain) Surau ini juga sudah punya asrama untuk orang siak dua buah.
Apakah surau Ringan-Ringan bisa menjadi motor penggerak bagi kemajuan surau di Pariman, atau akan berbeda senderinya dari surau-surau yang lain, kiranya masih butuh waktu untuk melihat perkembangannya. Sekalipun surau tersebut sudah mengadakan terobosan-terobosan baru, namun innovasi yang dibawa baru langkah awal yang perlu kepada pengaembangan-pengembangan yang lebih kongrit.

BAB V KEMBALI KE SURAU
Surau yang mengalami pembaharuan pendidikan Islam, yang dalam pembaruan ini terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh ulama pembaharu. Ulama-ulama yang mengadakan pembaruan di darek hampir rata-rata ulama yang memperoleh pendidikan luar, mekah khususnya. Dan kebanyakan mereka adalah murid Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Sementara ulama surau di Padang Pariaman tidak ada yang belajar ke mekah kecuali Sutan Darab. Karenanya ulama surau di Padang Pariaman agaknya tidak memiliki wawasan tentang pembaruan pendidikan Islam.
Surau dan pesantren merupakan budaya asli indonesia yang sudah ada sejak zaman hindu budha. Tidak diketahui secara pasti kapan kedua lembaga itu pertama kali muncul. Namun setelah islam masuk dan berkembang, surau dan pesantren menjadi institusi pendidikan dan pengajaran agama islam. Surau merupakan lembaga yang ada di minangkabau sedangkan pesantren tumbuh dalam masyarakat jawa yang involutif tetap bertahan dan bahkan berkembang sampai saat ini.
Sebagai lembaga pendidikan islam, surau dan pesanteren mempunyai makna yang sama. Tetapi sebagai budaya, surua dan pesantren dua hal yang berbeda. Surau tumbuh di tengah  masyarakat Minangkabau yang diwarnai oleh budaya masyarakat Minangkabau itu sediri. Fungsi sosiologis surau tentu saja berbeda dengan fungsi sosiologis pesantren. Oileh karena itu secara sosial budaya surau tidak bisa digantikan oleh pesanteren, kecuali kalau budaya masyakat minangkabau itu sendiri juga terkikis. Namum banyaknya surau yang masih eksis walaupun istilah suarau sebagai snomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan pendidikan islam secara nasional. Kelihatannya surau masih mampu bertahan. Surau bisa saja mengadopsi tradisi pensantren dalam sistem pendidikan islam, namun sebagai budaya, suarau tidak bisa digantikan pesantren.
Kembali kanagari merupakan pencerahan bagi surau, karena suarau merupakan syarat bersdirinya sebuah nagari dan merupakan bagian dari tali bapilin tigo dimana nagari akan  menjadi kuat jika  umara, ulama dan ninik mamak tetap dalam satu kesatuan yang utuh.
Meskipun gerakan kemabli ke surau masih dalam bentuk wacana, otonomi daerah yang bergulir, setidaknya telah mebawa angin segar terhadap aset kultural yang sudah lama digilas oleh arus modernisasi yakni kandasnya nagari sebagai pemerintahan demokratif bagi masyarkat minangkabau yang beraarti hilangnya fungsi surau dalam tungku tigo sajarangan. Gerkan kembali ke surau sudah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya surat keputusan gubernur tanggal 26 maret 2003 dengan menjadikan surau sebagi sentral kegiatan keagamaan. Praksis kembali kesurau tersebut baru diterapkan di kota padang dengan menjadikan surau sebgai puat kegiatan keagamaan. Adapun bentuk kegiatannya baru berupa taman pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyah Awaliyah, didikan subuh dan pesantren kilat.
Henbusan angin segar yang datang bersamaan dengan Otonomi Daerah, yakni kembali ke nagari juga berarti kembali ke surau, ikut menggairahkan pendidikan surau. Undang-undang kembali kenagari ikut memperkuat posisi surau dalam kultur dan struktur masyarakat Minangkabau. Surau kembali menjadi wacana public.
Bukti lain perhatian pemerintah terhada pendidikan surau adalah dengan memberikan bantuan dana berupa bantuan modal usaha yang dikelola dan dikebangkan secara berkelompok oleh orang siak yang mengikuti program. Bentuk usaha yang dikembangkan disesuaikan dengan skill yang mereka miliki atau arahan dari guru pembina. Perhatian pemerintah ini merupakan kebajikan dalam upaya peningkatan status pendidikan suarau. Meskipun penyetaraan belum menunjukkan pengakuan terhadap kualitas ilmu agama yang dimiliki tamatan surau,  namun usaha tersebut merupakan langkah awal peningkatan status pendidikan surau.
Kelemahan dan kekuatan surau di atas menunjukkan bahwa kekuatan surau masih lebih banyak jika dibandingkan dengan kelemahan yang ada. Dan berarti bahwa surau masih sangat dibutuhkan masyarakat dan masih mampu bertahan dengan ketradisionalnya tanpa haru berubah menjadi pesantren. Persoalannya adalah bagaimana ulama surau mampu mengembalikan citra dan mensosialisasikan pendidikan surau, sehingga surau-surau benar-benar dapat menjadi gudang ulam yang mampu mengatasi krisis agama di Sumatera Barat khususnya dan indonesia umumnya.
Menurut hemat penulis, walaupun istilah surau sebagai nomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan pendidikan islam secara nasional, akan tetapi harapan mepertahankannya secara lokal masih tersbuka, karena Padang Pariaman yang dikenal sebagai basis pendidikan surau masih mempunyai banyak surau yang menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan islam tradisional ditengah maraknya pendidikan sekuler, masdrasah dan pesantren-pesantren modern. Pengakuan masyarakat terhadap alumni surau sebagai elit desa, pemahaman bahasa arab dan ilmu agama islam tuaku yang cukup baik dan masih banyak generasi muda yang mau belajar di surau, masih banyak ditemui fakih (murid) yang berkain sarung, kaki beralaskan  sandal, peci hitam menutupi kepala dan buntil disandang di bahu,  pergi meminta sedekah ke rumah-rumah penduduk atau di pasar-pasar setiap hari kamis merupakan indikasi bahwa surau masih diminati dan eksis di tengah masyarakat.

BAB VI PENUTUP
Kemampaun bertahan ini tidak luput dari komitmen dan usaha para tuanku dan dukungan masyarakat untuk mengembangkan pendidikan surau dengan melempar jaringan surau ke berbagai daerah, terutama daerah pedesaan. Setiap fakih (murid) yang sudah berhasil menamatkan pendidikannya, dikembalikan ke daerahnya masing-masing atau di daerah lain dan dengan bantuan masyarakat, tuanku-tuanku muda dibangunkan surau baru sebgai tempat tinggal dan mengajar.
Dan yang lebih menggembirakan, di awal abad ke-21 surau-surau di Padang Pariaman mulai bangkit. Ulama-ulama surau mengadakan terobosan-terobosan baru untuk menarik banyak murid dengan meberi izin kepada murid-muridnya belajar di sekolah-sekolah formal, serta merubah jadwal belajar di surau, disesuaikan dengan waktu belajar di sekolah. Langkah yang dilakukan ulama lama surau tersebut mendapat respon positif, jumlah input fakih semakin meningkat.
Selain usaha dari pengelola surau, pemerintah juga memberikan peluang kepada para fakih untuk ikut belajar pada program pendidikan kesetaraan paket A setara SD / MIN, paket B setara SLTP/ MTs dan paket C setara SMA/ Aliyah mempunyai sertifikat kesetaraan yang diakui pemerintah. Kebijakan tersebut memberi harapan kepada alumni surau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan formal atau menjadi pegawai di kantor-kantor pemerintah dan lembaga swasta lainnya. Tetapi kebijakan tersebut ditanggapi dingin oleh pengelola surau, kelihatannya mereka kurang setuju dengan intervensi pemerintah dalam lembaga pendidikannya. Yang mereka harapkan hanya bantuan dana, bukan ikut campur dalam bidang pendidian surau.
Dengan adanya wacana kembali ke surau, sudah seharunya ulama-ulama surau mempersiapkan diri untuk reaktualisasi pendidikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan zaman akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan surau. Oleh karena itu, reformasi, revitalisasi menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah.

Kajian ini menemukan, masih banyak surau-surau yang melaksanakan pendidikan Islam,  khususnya di Padang Pariaman yang dahulunya merupakan basis pendidikan surau. Dalam proses pembelajaran dan paham keagamaan yang dikembangkan, surau-surau tersebut masih termasuk lembaga pendidikan Islam tradisional yang belum terpengaruh oleh pembaruan. Namun dalam menyikapi perubahan pandangan masyarakat yang masih pragmatis dan materialistis ulama surau mulai membuka diri menerima campur tangan pemerintah dalam meningkatkan status murid-murid  surau melalui penyetaraan, dan juga memberi motivasi kepada murid-murid untuk memasuki jalur pendidikan formal diluar surau. Dengan demikian fakih yang belajar di surau terbagi kepada dua kelompok, yaitu fakih yang hanya belajar di surau semata dan fakih yang belajar di surau dan sekolah. Perubahan yang dilakukan ulama tersebut, nampaknya membahwa angin segar bagai pekembangan murid-murid surau. Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, surau masih punya banyak kekuatan untuk bertahan. Oleh karena itu surau yang ada bisa dijadikan  acuan untuk menggagas program kembali kesurau, jika yang dimaksud kembali ke surau adalah menempatkan surau dalam tungku tigo sajarangan

Tafsir Al-Qur'an Dengan Pendapat Tabi'in


TAFSIR ALQURAN DENGAN PENDAPAT TABI’IN
Oleh:
Roni Faslah (31161200000059)

A.      Pendahuluan
Kebutuhan akan tafsir menjadi lebih penting lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya terbatas di akhirat kelak. Petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan manusia di dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada seseorang saja atau satu generasi. Karena ayat-ayat Al-Qur’an adalah selalu terbuka untuk interpretasi baru dan tidak pernah pasti tertutup dalam interpretasi tunggal.[1]
Tak dapat dipungkiri bahwa studi al-Qur’an selalu berkembang sejak Al-Qur’an diturunkan hingga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan tafsir.[2]
Maka dalam sejarah berkembagnya tafsir memberikan bentuk tafsir atau corak metode tafsir yang berbeda-beda, baik itu yang dilakuakan sejak masa pirode klasik (masa rasullulah SAW) lalu sampai masa periode tafsir modern atau kontoporer yang dilakukan para ulama atau inteletual muslim. Dalam ini akan melihat bagaimana tafsir tabi’in yang mana bisa dibilang masa klasik (tafsir bil ma’tsur). Sarjanawan mengatan bahwa berakhirnya priode abad pertama yaitu masa generasi sahabat, lalu dilanjutkan abad kedua tafsir adalah periode tabi’in. Tafsir pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan sesuai dengan pekembangan masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Para mufassir ini konsentrasi pada apa yang ada dalam Al-Qur’an, riwayat sahabat dan ijtihad atas kajian terhdap kitabullah. Manakalah mereka tidak menemukan jawaban dari keterangan nabi atau hadist dan sahabat, terpaksa melakukan ijthad agar menemukan jawabannya.
Dalam makalah sederhana ini, penulis hanya fokus membahasa atau menkaji bagaimana tafsir alquran dengan pendapat tabiin, baik dilihat dari history dan kedudukan, metodenya.

B.      Sejarah Tafsir Tabi’in
Tabi’in merupakan jamak dari تابعين (tabi’i) atau تابع (tabi’). Menurut bahasa تابعين berarti pengikut dan التابع  adalah isim fail dari تبعه yang artinya berjalan dibelakangnya. Menurut istilah tabi’in adalah sebagai berikut “Adalah seorang muslim yang bertemu dan belajar dengan seorang sahabat lalu mati dalamberagama Islam”.[3]Jadi Tabiin merupakan seorang muslim yang berjumpa dan mendalami ilmu agama (Al-Qur’an) dengan sahabat Nabi SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi SAW. Dalam hal penafsiran yang ada pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima baik oleh para ulama dan kaum tabi’in diberbagai daerah kawasan islam.
Dan Al-Shabuni menyebut bahwa mufassir pada masa tabi’in jumlah sangatlah banyak, lebih banyak daripada mufassir para sahabat. Banyak tokoh penafsir muncul dari kalangan sahabat yang telah memberikan sumbangan besar dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga para generasi selanjutnya dapat mengambil penafsiran dari pemikiran mereka.[4] Hal itu yang jadi cikal bakalyang dilanjutkan muncunya tafsir generasi tabi’in yang tadi beguru dari para sahabat. Dan sahabat yang tentunya yang memdapat pelajaran lasung dari Nabi mengenai pemahaman Al-Qur’an.
Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah, Madinah dan daerah lain, masa ini terjadi kira-kira tahun 100 H / 723 M -181/812 M. yang di tandai dengan wafatnya tabi’in terakhir.  Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy juga mennyatakan Tafsir para sahabat disambut segolongan tokoh-tokoh yang tersebar diberbagai kota. Maka berkembanglah di Makah suatu thobagot mufassirin[5] yaitu, thobaqot Madinah, dan thobagot Iraq.[6] Kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah Bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin Jubair ( w.93 H ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud.[7]
Tabi’in yang terkenal adalah murid murid Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas adalah Mujahid Ibn Jabir, Atha’ Ibn Rabah dan Ikrimah Mauah Ibnu Abbas dan yang paling banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah Ikrimah dan yang paling sedikit adalah Mujahid, kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Al-Qamah An Nakha’y , Masruq Ibnu Al-Ajda al-Hamdany, Ubaidah Ibnu Amr As-Silmany, dan Al-Aswad Ibnu Yasid An Nakha’y.
Adapun sekolah-sekolah tafsir pada masa tabi'in terbagi menjadi :
1.       Madrasah Ibn Abbas di Makkah
Banyak ulama tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqat ulama Makkah mereka adalah murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang ini. Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer ada lima, yaitu :
a.       Mujahid ibn Jabir
Mujahid dilahirkan pada tahun 21H dan wafat pada tahun 103 H.[8] Ia adalah Mujahid ibn Jabr  Al-Makki Maula al-Sa’ib Ibn Abi al-Sa’ib, murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya. Mujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir. Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas sebanyak tiga puluh kali”. Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang sampai 30 kali adalah untuk hafalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata, aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaimana ia turun.[9] Sehubungan dengan ini, imam Nawawi berkata, ‘apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka cukuplah untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu lagi tafsir yang lain.
b.      Sa'id ibn Jubair
Ia adalah Muhammad Said ibn Jubair Ibn Hisyam al-Asadi (27 H- 114 H), berasal dari Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk pemuka dan imam tabiin. Ia sangat menguasai tafsir, hadist dan fiqh. Ia telah berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya. Di samping menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan menggunakan bacaan-bacaan itu. Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an, mengetahui makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun hal demikian, ia menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian ulama lebih mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn Abbas lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in mengerti tafsir.
c.       Ikrimah
Ia adalah Abu Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas (25 H-105H), berasal dari Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufasissirin dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk menyebarkan ilmunya. Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang keilmuan, khususnya dibidang tafsir.
Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’, Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan pertanyaanpertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan masalah ini. Diantara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’I : Tidak ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya. Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia tidak tsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari berkata : Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.
d.      Atha' ibn Abi Rabah
Ia adalah Abu Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki (27 H-115 H),- Ia termasuk pemuka tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW. antara lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan ia pernah bercerita bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah, faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Makkah puncak fatwa kembali kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun. Abdul Aziz ibn Rafi’ berkata, Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, aku tidak tahu. Dikatakan kepadanya : Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu sendiri ? Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di muka bumi ini.
e.      Thawus ibn Kaisan al-Yamani
Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani (33H-106H), orang pertama dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in, berasal dari Persi. Kisra mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan menjadi ahli ilmu dan amal. Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a. berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni surga. Ia juga meriwayatkan dari empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah murid Ibn Abbas, karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding dari yang lain. Ia merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia juga menjadi ahli ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.
2.    Madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan menancapnya iman, maka guru tafsir kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat agung yaitu Ubay ibn Ka’ab. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih tetap tinggal di Dar al-Iman. Para tabi'in banyak menafsirkan Al-Qur’an yang kemudian disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan kata lain pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi, kalau begitu tafsir bir ra’yi tidak perlu dijauhi sepanjang memiliki aargumentasi yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun logika.[10]
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada tiga, yaitu :
a.       Abu al-Aliyah adalah Rafi’ibn Mihran al-Rayyabi maula al-Rayyabi
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’ ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya kesaksian akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b.      Muhammad ibn Ka’ab al-Qurzi
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil Al-Qur‟an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang yang lebih alim tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.
c.       Zaid ibn Aslam
Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi‟in dan termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsiqah-an dan keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur‟an dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah. Ia wafat tahun 136 H.
3.       Madrasah Ibn Mas'ud di Kuffah
 Seperti halnya di Makkah terdapat Ibn Abbas sebagai guru tafsir pada masa tabi'in, di Irak terdapat Abdullah ibn Mas'ud yang diberi kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kuffah. Di Kuffah beliau juga mengajarkan tafsir kepada penduduk Kuffah (dipandang para ulama sebagai cikal bakal lahirnya ahli ra'yi). bersifat ra’yi dalam hal ini wajar karena jauh dari pusat study hadist yang ada di madinah sebagai akibatnya maka timbul banyak masalah khilafiyyah dalam menafsirkan al-quran yang selanjutnya memunculkan metode istidlal (mengambil ayat sebagai dalil yang bersifat deduktif). Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah :
a.       Alqamah Ibn Qais
Ia lahir disaat Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas‟ud. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61 atau 62 H.
b.      Masruq ibn al-Ajda’ ibn Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia seorang yang wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan pula dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang tafsir, alim terhadap Kitabullah.
 Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
c.       Al-Aswad ibn Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
 Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk periwayat Ibn Mas‟ud. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah, Bilal dan yang lain. Ia tsiqah saleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.
d.      Murrah al-Hamadzani
Ia adalah Abu Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang dikenal dengan Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah, sangat wara’ dan sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn Ka’b, Abdullah ibn Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya‟bi dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Banyak ulama yang menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub al-Sittah. Ia wafat tahun 76 H.
e.      Amir al-Sya’bi
Ia adalah Abu Amr Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi‟i al-Jalil Qadli Kufah. Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud, meski ia tidak mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Meski banyak ilmu, ia sangat berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri. Ibn Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id ibn alMusayyab dan Amir al-Sya‟bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur‟an dan mereka menahan diri dari menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap hati-hati. Tiga hal yang aku tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu. Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.
f.        Al-Hasan al-Bashri
Ia adalah Abu Sa’id al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula alAnshar. Ibunya adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun, ilmuwan yang agung, fashih, tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai dikatakan bahwa ia adalah tuan kalangan tabi’in. Hadistnya ada di alKutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110 H dalam usia 88 tahun.
g.       Qatadah ibn Di’amah al-Sadusi
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah, Atha‟ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah Arab, silsilah mereka dan menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai dan bidang tafsir dan banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia membeberkan ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan tafsir serta menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau bisa menemui orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun 117 H dalam usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[11]
Mereka itulah para mufasir terkemuka dari kalangan tabi’in di sejumlah kota-kota Islam dengan ragam tingkatan kemampuan mereka tidak ragukan lagi bahwa sekolah Ibn Abbas mengemban panji kepeloporan di bidang tafsir, sehingga Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa yang paling menguasai tafsir adalah ulama Mekkah, karena mereka telah berguru kepada Ibn Abbâs. Ulama-ulama yang dimaksud adalah Mujahid, Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah, Sa’id bin Jubayr, dan Tawus.[12]
C.      Kedudukan Tafsir Al-Qur’an Priode Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir al- ma’tsur dari tabi‘in bila tidak ada riwayat yang senada yang berasal dari Rasulullah atau sahabat, apakah tafsir tersebut diambil atau tidak. Sejumlah ulama berpendapat bahwa tafsir tabi‘in tidak diambil karena mereka tidak sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang menyertai turunnya, sehingga mereka mungkin melakukan kesalahan dalam memahami apa yang dikehendaki al-Qur’an, di samping itu kualitas pribadi mereka tidak ada jaminan dalam al-Qur’an maupun hadis, yang tentunya hal ini berbeda dengan para sahabat. Sebagian mufasir berpendapat bahwa pendapat tabi‘in di bidang tafsir diakui dan diambil, karena umumnya mereka menerima pendapat tersebut dari sahabat, dan status sahabat adalah ‘adl. [13] Terjadinya perbedaan pendapat diatas lalu bagaimana kedudukan pendapat tabi’in, bisakah sebagai hujah. Maka dalam hal penulis katakan bahwa pendapat tabi’in tetab termasuk tafsir bil ma’tsur, dan bisa dijadikan hujah, karena tafsir ini memiliki metode dan corak (tradisional; riwayat dan kebahasaan) yang sama atau hampir sama dengan dengan tafsir sahabat, tafsir dengan sunnah, tafsir Al-Quran dengan Al-Qur’an.  Kita ketahui juga mengenai pendapat Ibn Taimiyah mengenai bisakah pendapat tabiin sebagai hujah. Menurut Ibn Taimiyah beliau mengutip riwayat bahwa Shu’bah b. Hajjaj berkata, “Pendapat tabi‘in tidak bisa di jadikan hujjah. Pendapat mereka tidak bisa dijadikan hujjah kalau di kalangan mereka sendiri terjadi perbedaan antara mereka dalam suatu persoalan. Namun bila mereka sepakat mengenai sesuatu, maka tidak diragukan lagi kehujjahannya.[14] Dalam pendapat Ibn Taimiah, megisayarakan kepada kita bahwa penting meninjau kembali pendapat-pendapat yang diriwatkan tabi’in tersebut kalau ingin dijadikan hujah. Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa  tidak perlu menolak secara mentah-mentah  pendapatnya dari tabi’in mengenai Al-Quran.
Lagi pula mayoritas mufasir berpendapat bahwa tafsir al-tabi’in dapat diterima karena mereka umumnya telah berguru kepada para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an. Mujahid, contohnya, ia mengatakan bahwa dia telah memaparkan dan membaca mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali mulai dari awal mushaf hingga akhir. Menurutnya, Ibn Abbas menghentikan setiap selesai satu ayat, dan Mujâhid menanyakan kandungan ayat tersebut. Qatâdah juga mengatakan bahwa tak ada satu ayat pun yang dia pelajari kecuali ayat tersebut telah didengar maknanya dari para sahabat.[15] Oleh karena itu mayoritas mufasir mengambil tafsir al-tabi’in untuk dijadikan rujukan dalam tafsir-tafsir mereka. Maka yang menjadi Sumber primer tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang jelas. Namun Rasulullah SAW. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang diberikan oleh Allah SWT. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.[16]

D.      Metode Penafsiran Al-Qur’an Dengan Pendapat Tabi’in
Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in merupakan metode Tafsir Klasik, karena terdapat tiga cara atau metode penafsiran Al-Qur’an: Pertama, metode tafsir bil ma’tsur atau bi Al-riwayah yaitu tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan nas-nas (Teks), baik dengan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, dengan hadis nabi, aqwal sahabat (perkataan sahabat), maupun dengan para aqwal tabi’in. Kedua, metode tafsir bi Al-ra’yi atau Aldariyah, yaitu tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang di dasarkan pada ijtihad mufasir’nya dan menjadikan akal pikiran sebagai pendekatan umatnya. Ketiga, metode tafsir bi al-Isyarah, yaitu tafsir sufi, yang didasarkan pada tasauf Amali (praktis) yaitu menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam seluknya. Dalam hal ini Penulis tidak akan membahas berbagai metode tafsir klasik yang tersebut, namun fokus pada kajian tafsir dengan pendapat tabiin. Jadi dalam hal ini periode tabi’in yang menjadi sumber-sumber tafsir  adalah : al-Qur’an, hadits-hadits nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra’yu dan ijtihad.[17]  
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal -menurut Subhi As-Shaleh, sekalipun memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia bertentangan dengan tafsir bil-ma’tsur (pendapat Nabi ). Dan  ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan nash-nash Hadis. Maka keduanya saling mendukung dan saling memperkuat. Itulah yang kita ketemukan dalam kitab-kiab tafsir.[18] Jadi dalam hal ini akal tidak boleh bertentangan dengan hadis atau sunah nabi yang terdapat dalam tafsir bil-ma’tsur (penjelasan rasul), apalagi tejadinya penyimpangan[19] dalam penafsiran Al-Quran.
Sebelum melangkah ke dalam upaya-upaya penafsiran, seorang mufassir perlumengikat diri agar terhindar dari kesalahan-kesalahan. Diantara kekeliruan yang sering muncul dalam penafsiran adalah subjetivitas penafsir, kekeliruan dalam menerapkan kaidah, kadangkalah dalam alat-alat dan materi uraian, tidak memperhatikan kontek apakah asbab al-nuzul atau munasabah dan juga tidak memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa ditujukan pembicaraan tersebut.[20] Dan di tegaskan juga oleh A. Syafii Maarif bahwa posisi sentral Al-Qur’an di dalam kajian keislaman adalah; pertama, sebagai sumber inspirasi dan dorongan untuk berfikir kreatif dan kontenplatif. Fungsi itu sudah mejadi kenyataan dalam sejarah islam. Kedua, fungsi sebagai al-Furqan (pemisah antara yang haq dengan yang batil).[21] Maka hal itulah yang telah contoh para Nabi, sahabat, tabiin.
M. Quraish shihab juga menjelaskan dalam hal corak tafsir al-Ma’tsur, baik sahabat, para tabiin dan atba’ at-tabi’in masih megandalkan metode periwayatan dan kebahasaan. Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga memiliki kelemahan-kelemahan. [22]
Keistemewaannya diantaranya ialah;
a.       Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Qur’an
b.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya.
c.       Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan
Sedangkan kelemahan yang terlihat dalam megandalkan metode ini ialah;
a.       Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahsaaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qura’an menjadi kabur di celah uraian itu
b.      Seringkali konteks turunnya ayat -hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in, penafsiran Al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadits) sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat. Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat dukungan dari Guberbur ‘Ammar Ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn Khaththab. Dia adalah seorang sahabat yang “rasional”. [23]
Metode yang di gunakan pada masa tabi'in tidak jauh berbeda dengan masa sahabat, karena para tabi'in mengambil tafsir dari sahabat yang di kenal dengan tafsir bil ma'tsur. Contoh : Pada surat Ali Imron ayat 133

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Artinya: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa"
Penafsiran kata muttaqin dalam ayat di atas, dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun maupun diwaktu sempit, dan orang-orang yang memaafkan. Contoh lain, Mujahid dengan beberapa sarjana segenerasinya memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran Mujahid terhadap al-Baqarah ayat 65
                                                                                                  
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

Artinya : "Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka, "jadilah kamu kera yang hina".

Frasa "jadilah engkau kera yang hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya. Hal ini disebabkan kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu'ah ayat 5:

مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا.....

Artinya : "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal".( Qs. Jumu'ah : 5)
Perbedaan yang terjadi di dalam metode penafsiran tabiin, [24]diantarannya adalah:
1.       berbeda lafazh, bukan makna
hal  seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 
“Dan tuhanmu telah memerintahkan suapaya kamu jangan meyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”. (Q.s. Al-Isra: 23) Mengucapkan kata “ah” kepda orang tua tidak dibolehkan oleh agama apalagi megucapkan kata-kaa atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
Ibn Abbas berkata, “makna qadla adalah amara (memerintah). “Mujahid berkata, “maknanya adalah washsha (berwasiat). “Ar Rabi’ Bin Anas berkata, “maknanya adalah wajaba (mewajibkan). “penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan.
2.       Berbeda lafaz dan makna
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut  dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa maisng-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebgai contoh / permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja.

وَّكَأْسً دِهَاقًا

Contoh lainnya, firman-Nya, “ Dan gelas-gelas yang penuh )berisi minuman( (Qs. An-Naba : 34)
Ibn abbas berkata, “makna dihaqa adalah penuh. “mujahid berkata, “maknanya adalah berurutan (teratur). “ikrimah berkata, “maknanya adalah bening. [25]
Sinkronisasi terhadap pendapa-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan pertentangan (kotransiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya diketengahkan sebagai contoh atau pemisal.
Dalam hal contoh diatas penulis papar hanya sebagai sampel saja, agar kita mengenal bagaimana metode tabi’in dalam menafsirkan Al-Qur’an. Perlu kita ketahui juga bahwa Tabi’in tidak menafsirkan secara langsung dan keselurahan ayat Al-Quran lalu ditulis, akan tetapi orang lain yang mengumpulkannya semua pendapat tabiin lalu dikitabkan. Maka tabi’in tidak punya karangan kitab khusus tafsir, yang seperti pada periode tafsir modern dan kontemporer sekarang.

E.       Penutup
Tafsir alquran adalah pendapat (ijtihad) seseorang tentang makna dan kandungan dari teks alquran  yang dikaji dengan segenap ilmu dan permaslahan yang terkait denganya. Dalam hal ini tafsir mengalami perkembangan dari zaman-kezaman, maka tafsir terkait sekali dengan perkembangan peradapan dan ilmu pengetahuan manusia dibumi. Jadi tafsir menurut pendapat tabi’in di masa klasik itu (tafsir bil ma’tsur) sesuai juga dengan ilmu pengetahuan dan permsalahan yang berkembang pada masa itu.
tafsir menjadi lebih penting lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya terbatas di akhirat kelak. Akan teatapi petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan manusia di dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada seseorang saja atau satu generas saja.
Realitas sejarah membuktikan bahwa interpretasi kaum muslim terhadap kitab sucinya (tafsir) selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Dan perkembangan penafsiran dari klasik hingga kontemporer tidak terlepas dari akar sejarah dimana al-Qur’an dipahami oleh generasi awal Islam. Al-Qur’an yang bercorak al-ma’sur ini lah menjadi pionir munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.

Daftar Kepustakaan
As-Sabuni, Muhammad Ali,  At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997)
Ash-Shidiqiy, Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2002)
 As-Syuti, Imam, al-Itqan, fi ulum al-quran
Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyat, 1990)
As-Shiddiqi, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir, (Semarang :Pustaka Rezki Putra, 2000)
Abid, Yunus Hasan, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Abdullah, Taufik, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih, Ushul Fi At-Tafsir
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008
Al-Qardawi, Yusuf,  Kayfa Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran, Cetkan Pertama Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999
Dhahabial, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut: Dâr Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1976
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta : Pustaka Pelajar,2008
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode Klasik hingga Kontemporer,  Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta : AMZAH, 2009
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2005
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Pene - bit Mizan, 1997), h. 16.
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor.2
Qattan (al), Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. Riyad: al-Ma,had al-,Ali li al-Qada’
Zuhaili,Wahbah, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa Al-Manhaj, Juz 9. Bairut: Dar Al-Fikri



[1] 3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Mizan, 1997), h. 16.
[2]Abdul Mustaqim. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode Klasik hingga Kontemporer.  (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), xv.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta : AMZAH, 2009), h.113
[4] Muhammad Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997),h. 341
[5] Thobaqot mufassir merupakan lapisan atau tingkatan mufassir
[6] Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2002). h2.00
[7] Ahmad Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2. H.64
[8] Muhammad Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997),h. 342
[9] Imam As-Syuti, Al-Itqan, Fi Ulum Al-Quran, h.175
[10] Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyat, 1990), H.160
[11] Lihat Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir, (Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000), h.30
[12] Yunus Hasan Abid, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 35.
[13] Qattan al, Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. (Riyad: al-Ma’had al-,Ali li al-Qada’, t.th)h. 339
[14] Ibid. h 340.
[15] Dhahabîal, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.(Beirut: Dar Ihya’al-Turath al-Arabi, 1976), h. 128
[16] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta : Pustaka Pelajar,2008), h.32
[17]Ahmad Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, h.64
[18] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj.( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.417
[19] Penyimpangan terhadap penafsiran adalah dengan tidak mengindahkan apa-apa yang datang dari para pendahulu (salaf) dan keberpalingan terhadap peninggalan mereka segala sesuatu dari titik nol atau kosong sama sekali tanpa ada pondasi dan cabang sebelumnya. Salah satu pegangan yang paling kokoh serta aturan pending memahami ajaran islam serta ketetapan-ketetapan al-Qur’an dan sunnah Nabinya. Aqidah dan pola pikirannya berdasarkan padanya, ketentuan dan taklidnya tertanam padanya dan dari sanalah akan bercabang aturan serta sepak terjangnya. Lihat Yusuf Al-Qardawi, Kayfa Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran, Cetkan Pertama (Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999), h.350
[20] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung:  Mizan, 1997), h. 70
[21] Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam, lihat Taufik Abdullah, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h.159
[22] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Pene - bit Mizan, 1997), h. 142
[23]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. (Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2005), h.  426-427
[24] Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Ushul Fi At-Tafsir, h.30-31
[25]Wahbah Zuhaili, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa Al-Manhaj, Juz 9. (Bairut: Dar Al-Fikri)