ronifaslah
Kamis, 15 Desember 2016
Jumat, 18 November 2016
SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER DI PADANG PARIAMAN
SURAU: LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM TRADISIONAL PADA MASA KONTEMPORER
DI PADANG PARIAMAN
Oleh. Munawaratul Ardi
BAB I PENDAHULUAN
Surau sebagai kultural masyarakat Minangkabau merupakan bangunan
yang terpisah dari rumah gadang. Pada awalnya surau berfungsi sebagai tempat
tidur, berkumpul, bermusyawarah, belajar adat istiadat dan lainnya. Dengan
datangnya Islam, surau megalami islamisasi dan surau menjadi pusat pengembangan
Islam. Setelah Syekh Burhanuddin kembali dari belajar agama di Aceh, beliau
menjadikan surau sebagai lembaga pendidikan Islam serta membentangkan jaringan
pendidikan surau ke berbagai daerah melalui murid-muridnya.
Surau merupakan salah satu institusi pendidikan
utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau dan merupakan ciri khas serta lambang
keberadaan suatu suku. Pada awalnya surau dibangun untuk tempat beribadah dan
kemudian menjadi tempat bermalam, surau
mempunyai dua makna. Pertama, bermalam berarti tidur dan istirahat di malam hari. Kedua,
bermalam berarti belajar dan menuntut ilmu pengetahuan. Belajar dalam konteks
ini tidak dapat diartikan sebagai bentuk
atau proses pendidikan seperti yang dilakukan sekarang. Belajar sebagai proses
pendewasaan generasi muda yang repsentatif dan pemimpin yang
bertanggung jawab.
Ketika Islam datang ke Minangkabau, surau
mengalami perubahan yang mendasar yakni pengislamisasian fungsi surau dari ritualisasi
hinduisme-hinduisme kepada islam. Bahkan setelah Syekh Burhanuddin Ulakan menjadi
ulama, surau dijadikannya sebagai institusi pendidikan Islam sejenis ribat. Surau-surau seperti ini berskembang ke
berbagai pelosok Minangkabau dan melahirkan ulama-ulama terkenal. Kedatangan Islam
ke-Minangkabau menyempurnakan pendidikan lokal yang sudah ada. Surau tidak
hanya melahirkan tokoh-tokoh adat yang arif bijaksana tetapi melahirkan
tokoh-tokoh adat yang beragama dan ulama yang ahli adat.
Namun setelah dasarwarsa abad 20, surau sebagai
mesin pencetak ulama mengalami kemunduran yang berkepanjangan. Surau tidak siap
menghadapi perubahan-perubahan mentalitas masyarakat Minangkabau yang terjadi
sedemikian cepat karena dipicu modernisasi yang cendrung westernisasi
dan materialistis. Surau tidak punya menejemen yang kuat dan terfokus
untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Beberapa hasil penelitian
mengatakan bahwa fungsi surau tidak lebih sebagai tempat beribadah semata,
sementara surau besar yang melaksanakan pendidikan tinggi seperti di darek
sudah rontok dan hampir lenyap.
Ironisnya disaat surau sudah lenyap, memori tentang surau muncul
kembali. Otonomi daerah mengingatkan masyarakat Minangkabau untuk menghidupkan
suatu yang hampir mati. Himbauan kesurau mulai digaungkan, bahkan pemerintah
daerah Sumatera Barat ikut mendukung usaha tersebut dengan mengeluarkan perda
tentang “ Gerakan Kembali Ke Surau”. Yang menjadi masalah, masih adakah surau,
bagaimana kondisi surau yang ada dan kenapa surau itu bisa bertahan?. Masalah
ini dikaji berbagai pendekatan sosiologis, antropologis, histories dan
kependidikan dengan menggunakan analitis-kritis. Studi tentang kondisi, dan
kajian terhadap kemampuan surau bertahan
mempunyai relevansi dengan gerakan
kembali ke suarau yang sedang disosialisasikan.
Metode penelitian ini merupakan penelitian
lapangan dan bersifat deskripsit kualitatif. Namun karena surau terkait dengan
masyarkat dan budaya, maka dalam menulsuri fenomena surau, spenulis perpedoman
kepda teori-terori perubahan sosial dan
kebudayaan. Fokus wilayah yaitu pada surau yang mengkaji kitab kuning, sekitar
31 surau yang berada ditujuh kecamatan di Padang Pariaman. Intrumen pengumpulan
data yaitu studi kepustakaan, observasi, wawancara. Penelitiaan ini menggunakan
analisis kualitatif. Melalui analisis ini, rekonstruksi tradisi surau dapat
dilakukan dengan menunjukkan setting sosio-historis-nya.
BAB II PARIAMAN RANTAU PESISIR
MINANGKABAU
Secara etimologi, asal kata “ Minangkabau” masih diperselisihkan. Para ahli sepakat
meegatakan, minangkabau merupakan nama salah satu suku bangsa di Indonesia yang
bertempat tinggal di sebagaian besar wilayah Sumatera Barat. Minangkabau sering
disingkat degan “minang” dan masyarakatnya disebut “orang minang” kapan muncul
dan dari mana asalnya, masih diperdebatkan pakar sejarah. Perdebatan terjadi
karena kurangnya data tertulis yang dapat menjelaskan tentang itu, kecuali dari
tambo-tambo dan kaba-kaba yang diwarikan secara oral, sehingga muncul
kepercayaan asal nenek moyang orang miang dari kayangan, turunnan bangsa dewa
dan mingakabu dahulunya sebuah kerajaan besar, pecahan dari raja-raja turunan sang sapurba yang turun
dari bukit - maha meru (palembang), keturunan
maha raja diraja, turun dari puncak gunung merapi yang datang dari tanah
hindustan. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak membahas segala susuatu yang
berhubungan degan sejarah asal muasal suku dan kerajaan minangkabau secara spesifik, kecuali bila hal tersebut
dianggap penting. Penulis sejarah yang membagi minangkabau kepada tiga bagian,
menamakan daerah Pariaman dengan
pesisir. Tetapi yang membagi kepada dua wilayah, maka Pariaman disebut rantau,
tidak jarang juga orang menggabungkan kedua julukan tersebut” rantau pesisir”
karena merupakan daerah perantauan dan terletak di pesisir pantai.
Gambaran awal masyarakat pesisir Minangkabau,
bahwa wilayah Minangkabau lebih luah dari pada wilayah propinsi Sumatera Barat
sekarang, terdiri dari propinsi Sumatera Barat, sebagian Riau dan Jambi. Diduga
abad ke-14 dan ke15, kerajaan Minagkabau meliputi seluruh wilayah Sumatera
Tengah, antara Palembang dan sungai siak di sebelah timur, kerajaan Mandjudto dan
sungai Singkel di Barat.
Sudah menjadi pendapat umum, sebelum islam datang
agama yang berkembang dan dianut masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha
yang berasal dari India. Tetapi para sarjana kelihatan ragu-ragu mengenai
tempat dan proses pengebaran kedua agama tersebut. Apakah seluruh rakyat dan
semua daerah atau terbatas pada daerah dan kalangan elit tertentu saja.
Berdasarkan beberapa pendapat sejarawan di
atas, dapat dikatakan bahwa islam masuk ke Miangkabau melalui dua pintu, yaitu
pintu timur dari malaka melalui sungai siak dan sungai kampar terus ke pusat Minangkabau.
Jalur kedua dari aceh melalui pisisir Barat
Pariaman. Dari kedua jalur tersebut, kelihatannya jalur barat lebih berpengaruh
darir kpada jalur timur. Hal ini dapat dilihat dari diktum” syara’ mandaki adat
menurun” dikatakan syara’ mandaki, karena syara’ datang dari dataran
rendah’pesisir dibawa kedataran tinggi “darek’, sementara adat datang dari
darek menururun ke “kepisisir”. Oleh kerena itu terdapat perbedaan pengaruh
keduanya. Bagian pesisir pengaruh syara’ lebih kuat dari pengaruh adat,
sedangkan bagian darek pengaruh adat lebih kuat dari pengaruh syara’ dengan
terjadinya perpaduan antar adat dan
agama, maka agama islam akhirnya menjadi puncak dari adat Minangkabau sebagaiana
terangkai dalam pepatah, “tali bapilin tigo” yaitu, adat, syara” dan undang
yang tersunting dalam pepatah minang “Adat Bersendi Syara”, Dan Syara
Bersendi Kitabullah, Syara’ Mengata, Adat Memakai, Syara’ Bertelanjang, Adat
Bersesamping, Adat Menurun, Syara’mendaki. Adat Nan Kawi, Syara’‘ Nan Lazim”.
BAB III SURAU DALAM PERSFEKTIF SEJARAH
Surau Periode Awal, rata-rata ulama surau menngatakan bahwa, kata
“surau” berasal dari bahasa Arab, terambil dari akar kata “syura” yang berarti
permusyawaratan, hal bermusyawarah, atau berdiskusi dan berkonsultasi. Syura
atau musyawarah mengandung makna saling menjelaskan, merundingkan atau saling
meminta dan bertukar pendapat menganai suatu perkara. Karena kebiasaan orang
minang merobah, menambah atau mengurangi bunyi dan huruf pada kata yang di
ambil, maka kata syura berubah menjadi surau. Seperti halnya
kemana menjadi kama, lapo menjadi lapau. Pendapat ulama surau di
atas memberi kesan bahwa surau eksis dan dikenal masyarakat setelah islam masuk
dan berkembang di Minangkabau. Dengan demikian surau dengan segala bentuk, fungsi
dan sistemnya berasal dari arab yang dibawa dan berkembang bersamaan dengan
berkembangnya Islam.
Demikian juga kamus “besar bahasa indonesia” dikatakan “surau” berasal dari bahasa melayu
yang sudah menjadi bahasa indonesia. “Surau” berarti tempat (rumah) umat islam
melakukan ibadahnya, bersembahyang dan
mengaji”.
Azra juga mengatakan “surau” adalah istilah melayu indonesia dan
kontraksinya “suro” yang berarti “tempat” atau “tempat sembahyang”. Menurut
pengertian asalnya “surau” adalah
bangunan kecil tempat pengembahan arwah nenek moyang. Perenyataan ini
berdasarkan kepada letak surau awal yang dibangun di pucak bukit atau tempat yang lebih tinggi dari lingkungannya, kebnyakan surau
memiliki puncak gonjiong yang selain
mereflekksikan kepercayaan mitos tertentu, juga belakangan di pandang sebgai
simbol adat, selain itu snagat mungkin, surau berkaitan dengan kebudayaan
pedesaan, meskipun dalam perkemngan lebih akhir, suaru dapat pula ditemukan
didaerah urban. Selain dari bentuk bangunan, azra juga punya alasan lain bahwa
istilah surau tidak hanya ditemukan di
minagkabau, tetapi juga di daerah –daerah melayu asia tenggara lainnya
seperti;-Semenanjung Malaysia Sumatera Tengah dan Patani (Thailand Selatan).
Fungsi surau lebih dari sekedar tempat kegiatan
keagamaan. Menurut ketentuan adat, surau berfungsi sebagai tempat berkumpul para
remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda. Adat menentukan bahwa anak
laki-laki tak ada kamar di rumah orang tua mereka, oleh karena itu mereka
bermalam di surau. Surau menjadi amat penting bagi pendewasaan generasi muda
minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan, agama maupun keterampilan praktis
lainnya.
Kalau awalnya surau dibangun hanya sebagai
tempat tinggal, tempat tidur bagi kaum laki-laki dewasa, duda atau tua dari
keluarga satu suku atau kaum, setelah islam masuk dan tepatnnnya setelah Syekh
Burhanuddin kembali belajar dari Aceh, surau bertambah fungsi menjadi pusat
pendidikan dan pengembangan Islam yang ditempati para murid yang dari berbagi
suku dan daerah.
Dalam perjalanan yang sangat panjang, surau
pernah mengalami masa jaya; surau tumbuh dan berkembang hampir di setiap desa
dan didiami oleh banyak penghuni, namun diawal abad XIX, surau mulai mengalami
kemunduran yang berkepanjangan, hingga nyaris hilang. Kemunduran surau ini
disebabkan oleh bayak faktor , antara lain; perselisihan antar penganut tarekat,
perang paderi, intervensi belanda, munculnya kaum pembaru, tumbuhnya budaya
merantau, berubah tatanan keluarga, perubahan politik nagari. Maka
faktor-faktor diatas merupakan penyebab surau semakin tersingkir dan terpinggir.
Surau kehilangan banyak fungsi, kecuali hanya sebagai tempat beribadah dan
pengajian anak-anak. Sedangkan surau sebagai lembaga sosial budaya dan pendidikan
nyari hilang sama sekali.
Dalam perjalanannya, surau banyak mendapat
tantangan. Tantangan yang nyaris merobohkan surau datang dari berbagai arah.
Terpaan angin pembaruan yang dihembuskan oleh belanda, tokoh-tokoh permbaru,
pemerintah orde baru dan lainnya telah membuat surau semakin terpinggir. Berapa
banyak surau-surau besar yang dulunya punya murid ratusan bahkaan ribuan orang,
dengan datangnya berbagai goncangan, surau-surau tersebut rontok. Surau yang
tinggal tidak lebih dari surau yang berfungsi sebagai tempat beribadat dan
mengaji anak-anak. Walaupun demikian, kenyataanya surau-surau di Padang
Pariaman tidak tersentuh oleh arus gelombang
pasang kehancuran. Sampai saat ini masih banyak di temui surau yang
eksis dan bertahan dengan ketradisionalannya di tengah maraknya pendidikan
modern. Surau-surau tersebut masih
melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai lembaga pendidikan konvensional yaitu
transmisi dan transfertasi ilmu pengetahuan agama Islam, pemeliharaan tradisi
Islam, penciptaan kader-kader ulama.
BAB IV SURAU TRADISIONAL PADA MASA KONTOMPORER
Dalam kamus bahasa indonesia, kata’kontemporer” berarti “pada waktu
yang sama” dan “pada masa kini”. Surau kontemporer adalah surau masa kini. Yang
dimaksud “surau pada dimasa kontemporer” adalah surau-surau yang masih eksis
melaksanakan pengajian kitab (tafaqquh fi al-din) dengan segala
dinamikanya di tengah gelombang modernisasi
Secara historis, keberadaan lembaga pendidikan
di indonesia berula dengan adanya lembaga pendidikan informal dan non-formal
yang terdapat dalam lingkungan keluarga (rumah tangga) dan masyarakat seperti
surau, pesantren dan dayah atau meunasah. Lembaga-lembaga
tersebut kemudian berubah menjadi lembaga pendidikan islam bersamaan dengan
penyebaran islam pada zaman permualaan. Sedangkan pendidikan dalam keluarga
berlangsung seiring dengan warisan nilai-nilai tradisi islam yang bersifat
internalisasi, yaitu proses pendidikan yang berlangsung dalam keseharian
melalui interaksi sosial.
Taufik Abdulah mengatakan, yang dimasud dengan
tradisionalis di Sumatera Barat adalah mereka yang ingin mempertahankan dan
melanjutkan tradisi agama yang telah mendapat akmodasi oleh adat. Menurut
orientasi keagamaan masyarakat minangkabau pada dasarnya terbagi kepada tiga
corak, 1. mereka yang ingin memperthankan dan melanjutkan tradisi agama yang
telah mendapat akonodasi oleh adat, mereka ini lebi popule r dengan sebutan kelompok
tradionalis, 2. Aliran baru yag lebih bersifat ortodoks yang pada mulanya diperkenalkan
oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabauwi, seorang ulama Minangkabau yang pernah
menjadi imam dan qadhi di Mesjid Al-Haram pada awal abad 20, 3. Kelompok
kebangkitan baru, yaitu suatu aliran yang lebih dikenal dengan “modernisme”
atau di Minangkabau disebut “kaum muda”.
Pendidikan Islam tradisional, adalah suatu proses pembinaan, bimbingan dan
pentransferan nilai-nilai ajaran Islam yang
selalu berpedoman kepada norma-norma dan adat kebiasaan yang sudah
berlaku secara turun-temurun, baik dari segi sistem pendidikan maupun ilmu yang
ditransfer kepada murid. Sedang pendidikan islam tradisional memiliki
karakteristik tersendiri.
Surau, rangkang yang mempunyai persamaan arti
dengan pondok dikategorikan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional.
Penbedaan kedua lembaga tersebut dapat dilihat dari komponen-komponen yang ada
pada masing-masing instusi. Surau, rangkang dan pondok paling tidak mempunyai
lima elmen dasar yaitu pondok sebagai asrama santri, mesjid sebagai tempat
peribadatan dan pendidikan, penegajaran kitab-kitab islam klasik, santri sebgai
perserta didik dan kiyai sebagai pimpinan sekaligus sebagai pengajar.
Karakter lain lembaga pendidikan Islam tradisonal dapat dilihat
dari sistem pembelajaran yang berlaku antaranya pendidikan tradisional
non-klasik. Masing-masing murid datang menghadap, membawa kitab dan belajar
kepada guru. Jejang pendidikan tidak
ditentukan oleh batas usia. Sebagai tujuan pendidikan untuk memahami agama,
Pembelajaran difokuskan kepada mata pelajaran agama semata. Pendidiakan tradisional
tidak punya kurikulum seperti pendidikan modern. Murid-murid yang telah tamat
tidak diberikan ijazah, seperti pendidikan formal dan tidak dipungut biaya.
Di dunia kontenporer sekarang terdapat Surau
Ringan-Ringan berbeda dengan surau-surau
yang lain di Pariaman. Surau Ringan-Ringan lebih inovatif dan berkembang
dari surau-surau lainnya. Surau ini mengadakan inovasi dalam bidang pendidikan,
seperti menerima murid perempuan dan menerima murid perempuan ini semenjak
tahun 1993. Menggunakan pendekatan belajar klasikal dan pembelajaran pasca
tuanku yang disebut tingkatnya bustan al-muhaqqiqin. Pembelajaran pasca tuanku
ini dimaksudkan untuk mendalami Islam secara konprehensif. Inovasi dengan memasukan
pembelajaran umum( bahasa inggris, matematika, sejarah, dan lain-lain) Surau ini
juga sudah punya asrama untuk orang siak dua buah.
Apakah surau Ringan-Ringan bisa menjadi motor
penggerak bagi kemajuan surau di Pariman, atau akan berbeda senderinya dari
surau-surau yang lain, kiranya masih butuh waktu untuk melihat perkembangannya.
Sekalipun surau tersebut sudah mengadakan terobosan-terobosan baru, namun innovasi
yang dibawa baru langkah awal yang perlu kepada pengaembangan-pengembangan yang
lebih kongrit.
BAB V KEMBALI KE SURAU
Surau yang mengalami pembaharuan pendidikan Islam, yang dalam
pembaruan ini terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh ulama pembaharu.
Ulama-ulama yang mengadakan pembaruan di darek hampir rata-rata ulama yang
memperoleh pendidikan luar, mekah khususnya. Dan kebanyakan mereka adalah murid
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Sementara ulama surau di Padang Pariaman
tidak ada yang belajar ke mekah kecuali Sutan Darab. Karenanya ulama surau di
Padang Pariaman agaknya tidak memiliki wawasan tentang pembaruan pendidikan
Islam.
Surau dan pesantren merupakan budaya asli
indonesia yang sudah ada sejak zaman hindu budha. Tidak diketahui secara pasti
kapan kedua lembaga itu pertama kali muncul. Namun setelah islam masuk dan
berkembang, surau dan pesantren menjadi institusi pendidikan dan pengajaran
agama islam. Surau merupakan lembaga yang ada di minangkabau sedangkan
pesantren tumbuh dalam masyarakat jawa yang involutif tetap bertahan dan bahkan
berkembang sampai saat ini.
Sebagai lembaga pendidikan islam, surau dan
pesanteren mempunyai makna yang sama. Tetapi sebagai budaya, surua dan pesantren
dua hal yang berbeda. Surau tumbuh di tengah
masyarakat Minangkabau yang diwarnai oleh budaya masyarakat Minangkabau
itu sediri. Fungsi sosiologis surau tentu saja berbeda dengan fungsi sosiologis
pesantren. Oileh karena itu secara sosial budaya surau tidak bisa digantikan
oleh pesanteren, kecuali kalau budaya masyakat minangkabau itu sendiri juga
terkikis. Namum banyaknya surau yang masih eksis walaupun istilah suarau
sebagai snomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan
pendidikan islam secara nasional. Kelihatannya surau masih mampu bertahan.
Surau bisa saja mengadopsi tradisi pensantren dalam sistem pendidikan islam,
namun sebagai budaya, suarau tidak bisa digantikan pesantren.
Kembali kanagari merupakan pencerahan bagi surau,
karena suarau merupakan syarat bersdirinya sebuah nagari dan merupakan bagian
dari tali bapilin tigo dimana nagari akan menjadi kuat jika umara, ulama dan ninik mamak tetap dalam satu
kesatuan yang utuh.
Meskipun gerakan kemabli ke surau masih dalam
bentuk wacana, otonomi daerah yang bergulir, setidaknya telah mebawa angin
segar terhadap aset kultural yang sudah lama digilas oleh arus modernisasi
yakni kandasnya nagari sebagai pemerintahan demokratif bagi masyarkat minangkabau
yang beraarti hilangnya fungsi surau dalam tungku tigo sajarangan.
Gerkan kembali ke surau sudah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya surat
keputusan gubernur tanggal 26 maret 2003 dengan menjadikan surau sebagi sentral
kegiatan keagamaan. Praksis kembali kesurau tersebut baru diterapkan di kota padang
dengan menjadikan surau sebgai puat kegiatan keagamaan. Adapun bentuk
kegiatannya baru berupa taman pendidikan Al-Qur’an, Madrasah Diniyah Awaliyah,
didikan subuh dan pesantren kilat.
Henbusan angin segar yang datang bersamaan
dengan Otonomi Daerah, yakni kembali ke nagari juga berarti kembali ke surau,
ikut menggairahkan pendidikan surau. Undang-undang kembali kenagari ikut
memperkuat posisi surau dalam kultur dan struktur masyarakat Minangkabau. Surau
kembali menjadi wacana public.
Bukti lain perhatian pemerintah terhada
pendidikan surau adalah dengan memberikan bantuan dana berupa bantuan modal
usaha yang dikelola dan dikebangkan secara berkelompok oleh orang siak yang
mengikuti program. Bentuk usaha yang dikembangkan disesuaikan dengan skill
yang mereka miliki atau arahan dari guru pembina. Perhatian pemerintah ini
merupakan kebajikan dalam upaya peningkatan status pendidikan suarau. Meskipun
penyetaraan belum menunjukkan pengakuan terhadap kualitas ilmu agama yang
dimiliki tamatan surau, namun usaha
tersebut merupakan langkah awal peningkatan status pendidikan surau.
Kelemahan dan kekuatan surau di atas
menunjukkan bahwa kekuatan surau masih lebih banyak jika dibandingkan dengan
kelemahan yang ada. Dan berarti bahwa surau masih sangat dibutuhkan masyarakat
dan masih mampu bertahan dengan ketradisionalnya tanpa haru berubah menjadi
pesantren. Persoalannya adalah bagaimana ulama surau mampu mengembalikan citra
dan mensosialisasikan pendidikan surau, sehingga surau-surau benar-benar dapat
menjadi gudang ulam yang mampu mengatasi krisis agama di Sumatera Barat
khususnya dan indonesia umumnya.
Menurut hemat penulis, walaupun istilah surau
sebagai nomenklatur nyaris lenyap dalam wacana dan kelembagaan pendidikan islam
secara nasional, akan tetapi harapan mepertahankannya secara lokal masih tersbuka,
karena Padang Pariaman yang dikenal sebagai basis pendidikan surau masih
mempunyai banyak surau yang menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan
islam tradisional ditengah maraknya pendidikan sekuler, masdrasah dan
pesantren-pesantren modern. Pengakuan masyarakat terhadap alumni surau sebagai
elit desa, pemahaman bahasa arab dan ilmu agama islam tuaku yang cukup baik dan
masih banyak generasi muda yang mau belajar di surau, masih banyak ditemui fakih
(murid) yang berkain sarung, kaki beralaskan
sandal, peci hitam menutupi kepala dan buntil disandang di bahu, pergi meminta sedekah ke rumah-rumah penduduk
atau di pasar-pasar setiap hari kamis merupakan indikasi bahwa surau masih
diminati dan eksis di tengah masyarakat.
BAB VI PENUTUP
Kemampaun bertahan ini tidak luput dari
komitmen dan usaha para tuanku dan dukungan masyarakat untuk mengembangkan
pendidikan surau dengan melempar jaringan surau ke berbagai daerah, terutama
daerah pedesaan. Setiap fakih (murid) yang sudah berhasil menamatkan
pendidikannya, dikembalikan ke daerahnya masing-masing atau di daerah lain dan
dengan bantuan masyarakat, tuanku-tuanku muda dibangunkan surau baru sebgai
tempat tinggal dan mengajar.
Dan yang lebih menggembirakan, di awal abad
ke-21 surau-surau di Padang Pariaman mulai bangkit. Ulama-ulama surau mengadakan
terobosan-terobosan baru untuk menarik banyak murid dengan meberi izin kepada
murid-muridnya belajar di sekolah-sekolah formal, serta merubah jadwal belajar
di surau, disesuaikan dengan waktu belajar di sekolah. Langkah yang dilakukan
ulama lama surau tersebut mendapat respon positif, jumlah input fakih
semakin meningkat.
Selain usaha dari pengelola surau, pemerintah
juga memberikan peluang kepada para fakih untuk ikut belajar pada
program pendidikan kesetaraan paket A setara SD / MIN, paket B setara SLTP/ MTs
dan paket C setara SMA/ Aliyah mempunyai sertifikat kesetaraan yang diakui
pemerintah. Kebijakan tersebut memberi harapan kepada alumni surau untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang pendidikan formal atau menjadi pegawai di kantor-kantor
pemerintah dan lembaga swasta lainnya. Tetapi kebijakan tersebut ditanggapi
dingin oleh pengelola surau, kelihatannya mereka kurang setuju dengan
intervensi pemerintah dalam lembaga pendidikannya. Yang mereka harapkan hanya
bantuan dana, bukan ikut campur dalam bidang pendidian surau.
Dengan adanya wacana kembali ke surau, sudah
seharunya ulama-ulama surau mempersiapkan diri untuk reaktualisasi pendidikan
surau sebagai lembaga pendidikan Islam. Perubahan-perubahan sosial dan kemajuan
zaman akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan surau. Oleh karena itu,
reformasi, revitalisasi menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat dan
memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah.
Kajian ini menemukan, masih banyak surau-surau
yang melaksanakan pendidikan Islam,
khususnya di Padang Pariaman yang dahulunya merupakan basis pendidikan
surau. Dalam proses pembelajaran dan paham keagamaan yang dikembangkan,
surau-surau tersebut masih termasuk lembaga pendidikan Islam tradisional yang
belum terpengaruh oleh pembaruan. Namun dalam menyikapi perubahan pandangan
masyarakat yang masih pragmatis dan materialistis ulama surau
mulai membuka diri menerima campur tangan pemerintah dalam meningkatkan status
murid-murid surau melalui penyetaraan,
dan juga memberi motivasi kepada murid-murid untuk memasuki jalur pendidikan
formal diluar surau. Dengan demikian fakih yang belajar di surau terbagi
kepada dua kelompok, yaitu fakih yang hanya belajar di surau semata dan fakih
yang belajar di surau dan sekolah. Perubahan yang dilakukan ulama tersebut,
nampaknya membahwa angin segar bagai pekembangan murid-murid surau. Sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional, surau masih punya banyak kekuatan untuk
bertahan. Oleh karena itu surau yang ada bisa dijadikan acuan untuk menggagas program kembali
kesurau, jika yang dimaksud kembali ke surau adalah menempatkan surau dalam tungku
tigo sajarangan.
Tafsir Al-Qur'an Dengan Pendapat Tabi'in
TAFSIR
ALQURAN DENGAN PENDAPAT TABI’IN
Oleh:
Roni Faslah (31161200000059)
A.
Pendahuluan
Kebutuhan akan tafsir menjadi lebih penting
lagi jika disadari bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya
terbatas di akhirat kelak. Petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan
manusia di dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan
hanya pada seseorang saja atau satu generasi. Karena ayat-ayat Al-Qur’an adalah
selalu terbuka untuk interpretasi baru dan tidak pernah pasti tertutup dalam
interpretasi tunggal.[1]
Tak
dapat dipungkiri bahwa studi al-Qur’an selalu berkembang sejak Al-Qur’an
diturunkan hingga sekarang ini. Munculnya berbagai kitab tafsir yang sarat
dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti nyata bahwa
upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini
merupakan keniscayaan sejarah, karena umat Islam pada umumnya ingin selalu
menjadikan Al-Qur’an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan
mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan
konteks yang tak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi
perkembangan tafsir.[2]
Maka
dalam sejarah berkembagnya tafsir memberikan bentuk tafsir atau corak metode tafsir
yang berbeda-beda, baik itu yang dilakuakan sejak masa pirode klasik (masa
rasullulah SAW) lalu sampai masa periode tafsir modern atau kontoporer yang
dilakukan para ulama atau inteletual muslim. Dalam ini akan melihat bagaimana
tafsir tabi’in yang mana bisa dibilang masa klasik (tafsir bil ma’tsur).
Sarjanawan mengatan bahwa berakhirnya priode abad pertama yaitu masa generasi
sahabat, lalu dilanjutkan abad kedua tafsir adalah periode tabi’in. Tafsir pada
masa tabi’in telah mengalami perkembangan sesuai dengan pekembangan
masalah-masalah yang muncul pada saat itu. Para mufassir ini konsentrasi pada
apa yang ada dalam Al-Qur’an, riwayat sahabat dan ijtihad atas kajian terhdap
kitabullah. Manakalah mereka tidak menemukan jawaban dari keterangan nabi atau
hadist dan sahabat, terpaksa melakukan ijthad agar menemukan jawabannya.
Dalam
makalah sederhana ini, penulis hanya fokus membahasa atau menkaji bagaimana
tafsir alquran dengan pendapat tabiin, baik dilihat dari history dan kedudukan,
metodenya.
B.
Sejarah
Tafsir Tabi’in
Tabi’in merupakan jamak dari تابعين (tabi’i) atau تابع (tabi’). Menurut bahasa تابعين berarti pengikut dan التابع adalah isim fail dari تبعه yang artinya berjalan dibelakangnya. Menurut istilah tabi’in adalah sebagai berikut “Adalah
seorang muslim yang bertemu dan belajar dengan seorang sahabat lalu mati
dalamberagama Islam”.[3]Jadi
Tabiin merupakan seorang muslim yang berjumpa dan mendalami ilmu agama
(Al-Qur’an) dengan sahabat Nabi SAW dalam keadaan ia beriman kepada Nabi SAW.
Dalam hal penafsiran yang ada pada masa tabi’in telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Hal ini dikarenakan penafsiran pada masa sahabat diterima
baik oleh para ulama dan kaum tabi’in diberbagai daerah kawasan islam.
Dan Al-Shabuni menyebut bahwa mufassir pada masa tabi’in jumlah
sangatlah banyak, lebih banyak daripada mufassir para sahabat. Banyak tokoh
penafsir muncul dari kalangan sahabat yang telah memberikan sumbangan besar
dalam menafsirkan al-Qur’an, sehingga para generasi selanjutnya dapat mengambil
penafsiran dari pemikiran mereka.[4]
Hal itu yang jadi cikal bakalyang dilanjutkan muncunya tafsir generasi tabi’in
yang tadi beguru dari para sahabat. Dan sahabat yang tentunya yang memdapat
pelajaran lasung dari Nabi mengenai pemahaman Al-Qur’an.
Dan pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di Makkah,
Madinah dan daerah lain, masa ini terjadi kira-kira tahun 100 H / 723 M -181/812
M. yang di tandai dengan wafatnya tabi’in terakhir. Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy juga mennyatakan Tafsir
para sahabat disambut segolongan tokoh-tokoh yang tersebar diberbagai kota.
Maka berkembanglah di Makah suatu thobagot mufassirin[5]
yaitu, thobaqot Madinah, dan thobagot Iraq.[6]
Kota Makkah diantaranya dipimpin oleh Abdullah Bin Abbas ( w. 63 H ), Sa’id Bin
Jubair ( w.93 H ), di kota Madinah berada dibawah pimpinan Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Aslam dan di Irak dibawah pimpinan Abdullah bin Mas’ud.[7]
Tabi’in yang terkenal adalah murid murid Ibnu
Abbas dan Ibnu Mas’ud yang meriwayatkan tafsir dari Ibnu Abbas adalah Mujahid
Ibn Jabir, Atha’ Ibn Rabah dan Ikrimah Mauah Ibnu Abbas dan yang paling banyak
meriwayatkan dari Ibnu Abbas adalah Ikrimah dan yang paling sedikit adalah Mujahid,
kemudian yang meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ialah Al-Qamah An Nakha’y , Masruq
Ibnu Al-Ajda al-Hamdany, Ubaidah Ibnu Amr As-Silmany, dan Al-Aswad Ibnu Yasid
An Nakha’y.
Adapun sekolah-sekolah tafsir pada masa tabi'in terbagi menjadi :
1.
Madrasah Ibn
Abbas di Makkah
Banyak ulama
tafsir terkenal di kalangan tabi’in. Namun thabaqat ulama Makkah mereka
adalah murid-murid Ibn Abbas telah menempati posisi terdepan di bidang ini.
Mereka adalah orang-orang yang paling mengerti tentang tafsir, sebagaimana
disebutkan oleh Ibn Taimiyyah. Murid Ibn Abbas yang paling populer ada lima,
yaitu :
a.
Mujahid ibn Jabir
Mujahid
dilahirkan pada tahun 21H dan wafat pada tahun 103 H.[8] Ia adalah Mujahid ibn Jabr
Al-Makki Maula al-Sa’ib Ibn Abi al-Sa’ib,
murid Ibn Abbas paling tsiqah r.a. Ia adalah imam yang tsiqah, alim
dan ahli ibadah. Tafsirnya digunakan oleh Imam Syafi’i, Imam Bukhari dalam Shahih-nya.
Mujahid adalah orang yang paling alim pada masanya dalam bidang tafsir.
Diriwayatkan bahwa ia berkata: “Aku menyodorkan bacaan Al-Qur’an kepada Ibn
Abbas sebanyak tiga puluh kali”. Ada juga riwayat yang menyatakan tiga kali
saja. Tidak ada pertentangan antara kedua riwayat ini, penyodoran pertama yang
sampai 30 kali adalah untuk hafalan, bacaan dan tajwid. Sedang penyodoran yang
kedua adalah untuk penafsiran dan penghayatan kandungannya. Mujahid berkata,
aku menyodorkan Al-Qur’an kepada Ibn Abbas tiga kali. Di setiap ayat aku
berhenti menanyakan maknanya, mengenai apa ia turun dan bagaimana ia turun.[9] Sehubungan dengan ini,
imam Nawawi berkata, ‘apabila datang kepadamu tafsir dari Mujahid maka cukuplah
untukmu”. Artinya tafsir itu sudah cukup, tidak perlu lagi tafsir yang lain.
b.
Sa'id ibn Jubair
Ia adalah
Muhammad Said ibn Jubair Ibn Hisyam al-Asadi (27 H- 114 H), berasal dari
Habasyah. Ia mempunyai banyak sahabat dan mengambil dari imam-imam dari
kalangan mereka. Yang terpenting adalah Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud. Ia termasuk
pemuka dan imam tabiin. Ia sangat menguasai tafsir, hadist dan fiqh. Ia telah
berguru kepada Ibn Abbas dan mengambil Al-Qur’an dan tafsir darinya. Di samping
menghimpun qira’ah-qira’ah yang kuat dari para sahabat dan menggunakan bacaan-bacaan
itu. Kemampuan qira’ah seperti itu telah memberinya keluasan untuk memahami Al-Qur’an,
mengetahui makna-maknanya dan mencermati rahasia-rahasianya. Namun hal demikian,
ia menahan diri dari mengemukakan pendapatnya sendiri. Ini membuat sebagian
ulama lebih mendahulukan tafsirnya dibanding tafsir Mujahid dan murid-murid Ibn
Abbas lainnya. Qatabadah rahimahullah mengatakan bahwa Sa’id adalah tabi’in
mengerti tafsir.
c.
Ikrimah
Ia adalah Abu
Abdillah Ikrimah al-Barbari al-Madani Maula Ibn Abbas (25 H-105H), berasal dari
Barbar kawasan Maghrib. Ia termasuk tabi’in pilihan dan pembesar mufasissirin
dan ulama yang mengamalkan ilmunya. Ia meriwayatkan dari Ibn Abbas, Ali ibn Abi
Thalib, Abu Hurairah dan lain-lain. Ia juga berkelana ke berbagai negara. Ia
pernah pergi ke Afrika dan berkunjung ke Yaman, Syam, Irak dan Khurasan untuk
menyebarkan ilmunya. Ia telah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang
keilmuan, khususnya dibidang tafsir.
Hubaib ibn Abi Tsabit Hubaib berkata, telah berkumpul dihadapanku
lima orang yang belum pernah aku jumpai orang yang semisal mereka, yaitu Atha’,
Thawus, Sa’id ibn Jubair, Ikrimah dan Mujahid. Sa’id dan Mujahid melemparkan
pertanyaanpertanyaan kepada Ikrimah. Keduanya tidak bertanya tentang tafsir
kecuali ditafsirkannya. Ketika pertanyaan keduanya habis, Ikrimah berkata, ayat
ini turun berkenaan dengan masalah ini, sedang ayat itu turun berkenaan dengan
masalah ini. Diantara pujian orang kepadanya adalah perkataan Jabir ibn Zaid
bahwa Ikrimah adalah orang yang paling alim. Juga perkataan al-Syafi’I : Tidak
ada orang yang lebih tahu tentang Kitabullah dibanding Ikrimah. Dan masih
banyak komentar-komentar yang memujinya dan menunjukkan status ilmiahnya. Meski
demikian, ulama berbeda pendapat berkenaan dengan ke-tsiqah-annya.
Sebagian mengatakan ia adalah tsiqah, sedang yang lain mengatakan ia
tidak tsiqah. Tak seorang pun mencela keadilannya. Imam al-Bukhari
berkata : Tidak seorang pun rekan kami yang tidak berhujjah dengan Ikrimah.
d.
Atha' ibn Abi
Rabah
Ia adalah Abu
Muhammad ibn Atha’ ibn Abi Rabah al-Makki (27 H-115 H),- Ia termasuk pemuka
tabi’in. Ia meriwayatkan dari sejumlah besar sahabat Rasulullah SAW. antara
lain Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn Amr ibn al-Ash. Bahkan ia pernah bercerita
bahwa ia menjumpai sekitar dua ratus sahabat. Ia adalah orang yang tsiqah,
faqih dan alim. Ia meriwayatkan banyak hadist. Di Makkah puncak fatwa kembali
kepadanya dan ia hidup hampir seratus tahun. Abdul Aziz ibn Rafi’ berkata,
Atha’ ditanya tentang suatu masalah, lalu ia menjawab, aku tidak tahu.
Dikatakan kepadanya : Mengapa engaku tidak menjawab dengan pendapatmu sendiri ?
Ia berkata, aku malu kepada Allah mengemukakan pendapatku sendiri di muka bumi
ini.
e.
Thawus ibn Kaisan
al-Yamani
Nama lengkapnya
adalah Abu Abdurrahman Thawus ibn Khaisan al-Yamani (33H-106H), orang pertama
dari thabaqah Yaman dari kalangan tabi’in, berasal dari Persi. Kisra
mengirimkannya ke Yaman. Lalu ia tinggal disana dan menjadi ahli ilmu dan amal.
Ia menjumpai sekitar lima puluh sahabat Nabi SAW. Sebuah riwayat menyatakan
bahwa ia berhaji sebanyak empat puluh kali. Ia mustajab do’anya. Ibn Abbas r.a.
berkata, saya menduga, Thawus adalah penghuni surga. Ia juga meriwayatkan dari
empat Abdullah dan yang lain. Namun sejak awal ia adalah murid Ibn Abbas,
karena ia meriwayatkan dari Ibn Abbas lebih banyak dibanding dari yang lain. Ia
merupakan ayat di bidang ilmu, ibadah, zuhud dan takwa. Ia juga menjadi ahli
ibadah yang zahid sampai wafat tahun 106 H.
2. Madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah
Adapun di Madinah al-Munawwarah, tempat memancarnya hidayah dan
menancapnya iman, maka guru tafsir kaum tabi’in disana adalah seorang sahabat
agung yaitu Ubay ibn Ka’ab. Ditambah sahabat-sahabat lain yang memilih tetap
tinggal di Dar al-Iman. Para tabi'in banyak menafsirkan Al-Qur’an yang kemudian
disebarluaskan kepada generasi selanjutnya sampai kepada kita. Pada aliran ini
telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan kata lain
pada aliran di Madinah ini telah timbul model penafsiran bir ra’yi, kalau
begitu tafsir bir ra’yi tidak perlu dijauhi sepanjang memiliki aargumentasi
yang kuat, baik dari sisi bahasa maupun logika.[10]
Dari kalangan tabi’in yang terkenal dibidang tafsir di Madinah ada
tiga, yaitu :
a. Abu al-Aliyah adalah Rafi’ibn Mihran al-Rayyabi maula
al-Rayyabi
Ia msuk Islam dua tahun setelah Rasulullah SAW wafat. Ia termasuk
periwayat Ubai ibn Ka’b dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Rabi’
ibn Anas, seorang tabi’i tsiqah. Banyak ulama memberikannya kesaksian
akan keilmuannya dan keutamaannya. Para penulis al-Kutub al-Sittah telah
menyepakatinya. Ia wafat tahun 90 H, menurut pendapat yang paling kuat.
b. Muhammad ibn Ka’ab al-Qurzi
Ia telah meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud dan Ibn Abbas, di
samping meriwayatkan dari Ubai ibn Ka’b dengan wasithah (perantara). Ia
dikenal tsiqah, adil dan wara’. Ia alim dibidang hadis dan takwil
Al-Qur‟an. Ibn Aun berkata, aku belum pernah melihat orang yang lebih alim
tentang takwil Al-Qur’an dibanding al-Quradhi. Ibn Hibban berkata, ia termasuk
pemuka warga Madinah dalam hal ilmu dan keagamaan. Ia ditakhrij oleh penulis al-Kutub
al-Sittah. Ia wafat tahun 118 H.
c. Zaid ibn Aslam
Ia adalah Abu Usamah atau Abu Abdillah al-Adawi al-Madani al-Faqih
al-Mufassir Maula Umar ibn al-Khaththab. Ia termasuk pemuka tabi‟in dan
termasuk imam tafsir. Ulama memberikan kesaksian akan ke-tsiqah-an dan
keadilannya. Ia memiliki banyak ilmu dan tidak segan-segan menafsirkan Al-Qur‟an
dengan ra’yunya. Banyak yang mengambil tafsir darinya, yang terkenal di
antaranya adalah putranya, Abdurrahman dan Malik ibn Anas Imam Dar al-Hijrah.
Ia wafat tahun 136 H.
3.
Madrasah Ibn
Mas'ud di Kuffah
Seperti halnya di Makkah terdapat Ibn Abbas
sebagai guru tafsir pada masa tabi'in, di Irak terdapat Abdullah ibn Mas'ud
yang diberi kepercayaan oleh Umar untuk memimpin Kuffah. Di Kuffah beliau juga
mengajarkan tafsir kepada penduduk Kuffah (dipandang para ulama sebagai cikal
bakal lahirnya ahli ra'yi). bersifat ra’yi dalam hal ini wajar karena jauh dari
pusat study hadist yang ada di madinah sebagai akibatnya maka timbul banyak
masalah khilafiyyah dalam menafsirkan al-quran yang selanjutnya memunculkan
metode istidlal (mengambil ayat sebagai dalil yang bersifat deduktif). Di
antara murid-muridnya yang terkenal adalah :
a.
Alqamah Ibn Qais
Ia lahir disaat
Rasulullah SAW masih hidup. Ia meriwayatkan dari Umar, Utsman, Ibn Mas’ud dan
lain-lain. Ia termasuk periwayat paling populer dari Ibn Mas‟ud. Banyak ulama
yang menilainya tsiqah. Imam Ahmad berkata, ia seorang tsiqah dari
ahli kebaikan. Ia ada di al-Kutub al-Sittah. Ia meninggal pada tahun 61
atau 62 H.
b.
Masruq ibn
al-Ajda’ ibn Malik ibn Umayyah al-Hamdzani al-Kufi al-Abid
Ia seorang yang
wara’ dan zahid. Ia banyak menyertai Ibn Mas‟ud, disamping meriwayatkan pula
dari Khulafa’urrasyidin dan yang lain. Ia imam di bidang tafsir, alim terhadap
Kitabullah.
Banyak ulama yang
menilainya tsiqah. Ibn Ma’in berkata, ia
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
tsiqah, la yus’al ‘anbu (tidak dipertanyakan). Al-Qadli Syuraih meminta pertimbangannya dalam memutuskan masalah-masalah penting. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi, Abu Wa’il dan yang lain karena kejujuran riwayatnya. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga mentakhrijnya. Ia wafat pada tahun 63 H.
c.
Al-Aswad ibn
Yazid ibn Qais al-Nakha’i (Abu Abdirrahman)
Ia termasuk pembesar tabi’in dan termasuk
periwayat Ibn Mas‟ud. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ali, Hudzaifah,
Bilal dan yang lain. Ia tsiqah saleh, mengena Kitabullah. Banyak ulama
yang menilainya tsiqah. Para penulis al-Kutub al-Sittah juga
mentakhrijnya. Ia meninggal di Kufah tahun 74 atau 75 H.
d.
Murrah
al-Hamadzani
Ia adalah Abu
Isma’il Murrah ibn Syarahil al-Hamadzani al-Kufi al-Abid, yang dikenal dengan
Murrah al-Thayyib dan Murrah al-Khair karena banyak ibadah, sangat wara’ dan
sangat takwa. Ia meriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Ubai ibn Ka’b, Abdullah ibn
Mas’ud dan yang lain. Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya‟bi dan yang lain.
Yang meriwayatkan darinya adalah al-Sya’bi dan yang lain. Banyak ulama yang
menilainya tsiqah. Ia di takhrij oleh para penulis al-Kutub al-Sittah.
Ia wafat tahun 76 H.
e.
Amir al-Sya’bi
Ia adalah Abu Amr
Amir ibn Syarahil al-Sya’bi al-Himyari al-Kufi al-Tabi‟i al-Jalil Qadli Kufah.
Ia meriwayatkan dari Umar, Ali dan Abdullah ibn Mas’ud, meski ia tidak
mendengar langsung dari mereka. Ia juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, Aisyah,
Ibn Abbas, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain. Meski banyak ilmu, ia sangat
berhati-hati untuk mentakwilkan Kitabullah dengan pendapatnya sendiri. Ibn
Athiyyah berkata, sejumlah ulama salaf, seperti Sa’id ibn alMusayyab dan Amir
al-Sya‟bi sangat mengagungkan tafsir Al-Qur‟an dan mereka menahan diri dari
menafsirkannya dengan pendapat mereka karena sikap hati-hati. Tiga hal yang aku
tidak akan mengeluarkan pendapatku sampai aku mati yaitu Al-Qur’an, ruh dan ra’yu.
Ia wafat tahun 109 H menurut pendapat yang masyhur.
f.
Al-Hasan
al-Bashri
Ia adalah Abu Sa’id
al-Hasan al-Bashri ibn Abi al-Hasan Yassar al-Bashri maula alAnshar. Ibunya
adalah Khayyirah muala umm Salamah. Ia lahir setelah kekhalifahan Umar ibn
al-Khaththab. Ia meriwayatkan dari Ali, Ibn Umar, Anas dan sejumlah sahabat dan
tabi’in. Ibn Sa’d berkata, ia tsiqah ma’mun, ilmuwan yang agung, fashih,
tampan, bertakwa dan bersih hatinya. Sampai dikatakan bahwa ia adalah tuan
kalangan tabi’in. Hadistnya ada di alKutub al-Sittah. Ia wafat tahun 110
H dalam usia 88 tahun.
g.
Qatadah ibn Di’amah
al-Sadusi
Nama kun-yahnya Abu al-Khaththab
al-Akmah, keturunan Arab, tinggah di Bashrah. Ia termasuk periwayat Ibn Mas‟ud,
disamping meriwayatkan dari Anas ibn Malik, Abu al-Thufail, Ibn Sirin, Ikrimah,
Atha‟ ibn Abi Rabah dan yang lain. Ia memiliki daya hapal yang kuat, luas
wawasannya dibidang syair dan memahami benar sejarah Arab, silsilah mereka dan
menguasai bahasa Arab fashih. Karena ia sangat pandai dan bidang tafsir dan
banyak ilmu. Abu Hatim berkata, aku mendengar Ahmad ibn Hanbal, dan ia
menuturkan Qatadah, lalu ia memujinya panjang lebar, lalu ia membeberkan
ilmunya, fiqihnya dan pengetahuannya tentang berbagai pendapat dan tafsir serta
menilainya hafidh da faqih, lalu berkata, sedikit sekali engkau bisa menemui
orang yang melebihinya, kalu sepadan mungkin saja. Ia wafat tahun 117 H dalam
usia 56, menurut pendapat yang masyhur.[11]
Mereka itulah para mufasir terkemuka dari
kalangan tabi’in di sejumlah kota-kota Islam dengan ragam tingkatan kemampuan
mereka tidak ragukan lagi bahwa sekolah Ibn Abbas mengemban panji kepeloporan
di bidang tafsir, sehingga Ibn Taimiyah pernah mengatakan bahwa yang paling
menguasai tafsir adalah ulama Mekkah, karena mereka telah berguru kepada Ibn
Abbâs. Ulama-ulama yang dimaksud adalah Mujahid, Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah,
Sa’id bin Jubayr, dan Tawus.[12]
C.
Kedudukan
Tafsir Al-Qur’an Priode Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsir al-
ma’tsur dari tabi‘in bila tidak ada riwayat yang senada yang berasal dari
Rasulullah atau sahabat, apakah tafsir tersebut diambil atau tidak. Sejumlah
ulama berpendapat bahwa tafsir tabi‘in tidak diambil karena mereka tidak
sezaman dengan turunnya wahyu, tidak menyaksikan situasi dan kondisi yang
menyertai turunnya, sehingga mereka mungkin melakukan kesalahan dalam memahami
apa yang dikehendaki al-Qur’an, di samping itu kualitas pribadi mereka tidak
ada jaminan dalam al-Qur’an maupun hadis, yang tentunya hal ini berbeda dengan
para sahabat. Sebagian mufasir berpendapat bahwa pendapat tabi‘in di bidang
tafsir diakui dan diambil, karena umumnya mereka menerima pendapat tersebut
dari sahabat, dan status sahabat adalah ‘adl. [13]
Terjadinya perbedaan pendapat diatas lalu bagaimana kedudukan pendapat tabi’in,
bisakah sebagai hujah. Maka dalam hal penulis katakan bahwa pendapat tabi’in tetab
termasuk tafsir bil ma’tsur, dan bisa dijadikan hujah, karena tafsir ini
memiliki metode dan corak (tradisional; riwayat dan kebahasaan) yang sama atau
hampir sama dengan dengan tafsir sahabat, tafsir dengan sunnah, tafsir Al-Quran
dengan Al-Qur’an. Kita ketahui juga
mengenai pendapat Ibn Taimiyah mengenai bisakah pendapat tabiin sebagai hujah.
Menurut Ibn Taimiyah beliau mengutip riwayat bahwa Shu’bah b. Hajjaj berkata,
“Pendapat tabi‘in tidak bisa di jadikan hujjah. Pendapat mereka tidak bisa
dijadikan hujjah kalau di kalangan mereka sendiri terjadi perbedaan antara
mereka dalam suatu persoalan. Namun bila mereka sepakat mengenai sesuatu, maka
tidak diragukan lagi kehujjahannya.[14]
Dalam pendapat Ibn Taimiah, megisayarakan kepada kita bahwa penting meninjau
kembali pendapat-pendapat yang diriwatkan tabi’in tersebut kalau ingin
dijadikan hujah. Dalam hal ini penulis menegaskan bahwa tidak perlu menolak secara mentah-mentah pendapatnya dari tabi’in mengenai Al-Quran.
Lagi
pula mayoritas mufasir berpendapat bahwa tafsir al-tabi’in dapat diterima
karena mereka umumnya telah berguru kepada para sahabat dalam menafsirkan
al-Qur’an. Mujahid, contohnya, ia mengatakan bahwa dia telah memaparkan dan
membaca mushaf kepada Ibn Abbas sebanyak tiga kali mulai dari awal mushaf
hingga akhir. Menurutnya, Ibn Abbas menghentikan setiap selesai satu ayat, dan
Mujâhid menanyakan kandungan ayat tersebut. Qatâdah juga mengatakan bahwa tak
ada satu ayat pun yang dia pelajari kecuali ayat tersebut telah didengar
maknanya dari para sahabat.[15]
Oleh karena itu mayoritas mufasir mengambil tafsir al-tabi’in untuk
dijadikan rujukan dalam tafsir-tafsir mereka. Maka yang menjadi Sumber primer
tafsir dalam Islam adalah al-Quran, Rasulullah Saw. dan sahabat. Tafsir yang
berasal dari ketiga sumber tersebut ditransmisikan melalui jalur riwayat yang
jelas. Namun Rasulullah SAW. menjelaskan arti ayat dengan otoritas yang
diberikan oleh Allah SWT. Kepada para sahabat. Selanjutnya para sahabat
mendirikan madrasah-madrasah tafsir sebagai wadah untuk meneruskan rantai
riwayat kepada tabi’in. Usai masa tabi’in, muncul upaya untuk mengkodifikasikan
tafsir diikuti dengan penetapan syarat-syarat mufassir.[16]
D.
Metode
Penafsiran Al-Qur’an Dengan Pendapat Tabi’in
Tafsir Al-Qur’an dengan pendapat tabi’in
merupakan metode Tafsir Klasik, karena terdapat tiga cara atau metode
penafsiran Al-Qur’an: Pertama, metode tafsir bil ma’tsur atau bi
Al-riwayah yaitu tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
nas-nas (Teks), baik dengan ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, dengan hadis nabi,
aqwal sahabat (perkataan sahabat), maupun dengan para aqwal tabi’in. Kedua,
metode tafsir bi Al-ra’yi atau Aldariyah, yaitu tafsir ayat-ayat
Al-Qur’an yang di dasarkan pada ijtihad mufasir’nya dan menjadikan akal pikiran
sebagai pendekatan umatnya. Ketiga, metode tafsir bi al-Isyarah, yaitu
tafsir sufi, yang didasarkan pada tasauf Amali (praktis) yaitu menakwilkan
ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak
oleh sufi dalam seluknya. Dalam hal ini Penulis tidak akan membahas berbagai
metode tafsir klasik yang tersebut, namun fokus pada kajian tafsir dengan
pendapat tabiin. Jadi dalam hal ini periode tabi’in yang menjadi sumber-sumber
tafsir adalah : al-Qur’an, hadits-hadits
nabi, tafsir para sahabat, cerita-cerita dari ahli kitab, ra’yu dan ijtihad.[17]
Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat
dan akal -menurut Subhi As-Shaleh, sekalipun memenuhi syarat-syarat yang
diperlukan untuk dapat dinilai baik dan terpuji, tidak dapat dibenarkan jika ia
bertentangan dengan tafsir bil-ma’tsur (pendapat Nabi ). Dan ijtihad tidak boleh disejajarkan dengan
nash-nash Hadis. Maka keduanya saling mendukung dan saling memperkuat. Itulah
yang kita ketemukan dalam kitab-kiab tafsir.[18]
Jadi dalam hal ini akal tidak boleh bertentangan dengan hadis atau sunah nabi
yang terdapat dalam tafsir bil-ma’tsur (penjelasan rasul), apalagi
tejadinya penyimpangan[19]
dalam penafsiran Al-Quran.
Sebelum
melangkah ke dalam upaya-upaya penafsiran, seorang mufassir perlumengikat diri
agar terhindar dari kesalahan-kesalahan. Diantara kekeliruan yang sering muncul
dalam penafsiran adalah subjetivitas penafsir, kekeliruan dalam menerapkan
kaidah, kadangkalah dalam alat-alat dan materi uraian, tidak memperhatikan
kontek apakah asbab al-nuzul atau munasabah dan juga tidak
memperhatikan siapa pembicara dan kepada siapa ditujukan pembicaraan tersebut.[20]
Dan di tegaskan juga oleh A. Syafii Maarif bahwa posisi sentral Al-Qur’an di
dalam kajian keislaman adalah; pertama, sebagai sumber inspirasi dan
dorongan untuk berfikir kreatif dan kontenplatif. Fungsi itu sudah mejadi
kenyataan dalam sejarah islam. Kedua, fungsi sebagai al-Furqan (pemisah
antara yang haq dengan yang batil).[21]
Maka hal itulah yang telah contoh para Nabi, sahabat, tabiin.
M.
Quraish shihab juga menjelaskan dalam hal corak tafsir al-Ma’tsur, baik
sahabat, para tabiin dan atba’ at-tabi’in masih megandalkan metode periwayatan dan
kebahasaan. Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga
memiliki kelemahan-kelemahan. [22]
Keistemewaannya
diantaranya ialah;
a.
Menekankan pentingnya bahasa
dalam memahami Al-Qur’an
b.
Memaparkan ketelitian redaksi
ayat ketika meyampaikan pesan-pesannya.
c.
Mengikat mufasir dalam
bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas
berlebihan
Sedangkan
kelemahan yang terlihat dalam megandalkan metode ini ialah;
a.
Terjerumusnya sang mufasir
dalam uraian kebahsaaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan
pokok al-Qura’an menjadi kabur di celah uraian itu
b.
Seringkali konteks turunnya
ayat -hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat
tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah
masyarakat tanpa budaya.
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in,
penafsiran Al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak
tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran
Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi
geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadits)
sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat.
Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat
dukungan dari Guberbur ‘Ammar Ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn
Khaththab. Dia adalah seorang sahabat yang “rasional”. [23]
Metode
yang di gunakan pada masa tabi'in tidak jauh berbeda dengan masa sahabat,
karena para tabi'in mengambil tafsir dari sahabat yang di kenal dengan tafsir
bil ma'tsur. Contoh : Pada surat Ali Imron ayat 133
وَسَارِعُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya:
"Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa"
Penafsiran
kata muttaqin dalam ayat di atas, dengan menggunakan kandungan ayat
berikutnya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang menafkahkan
hartanya, baik di waktu lapang maupun maupun diwaktu sempit, dan orang-orang
yang memaafkan. Contoh lain, Mujahid dengan beberapa sarjana segenerasinya
memberikan interpretasi ayat-ayat al-Qur'an yang dijadikan sebagai pijakan penafsiran
metaforis terhadap teks keagamaan. Salah satu contohnya adalah penafsiran
Mujahid terhadap al-Baqarah ayat 65
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا
مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Artinya
: "Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar
diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka, "jadilah
kamu kera yang hina".
Frasa
"jadilah engkau kera yang hina" oleh Mujahid tidak diartikan secara
fisik bahwa orang berubah wujud menjadi kera, akan tetapi hanya perilakunya.
Hal ini disebabkan kalimat tersebut merupakan permisalan, matsal, yang dipakai
oleh Tuhan, seperti halnya dalam al-Jumu'ah ayat 5:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ
لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا.....
Artinya
: "Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan taurat kepadanya, kemudian
mereka tidak memikulnya, adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab
tebal".( Qs. Jumu'ah : 5)
Perbedaan
yang terjadi di dalam metode penafsiran tabiin, [24]diantarannya
adalah:
1.
berbeda lafazh, bukan makna
hal
seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya
adalah firman Allah Ta’ala:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan tuhanmu telah memerintahkan suapaya kamu
jangan meyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapak. Jika
salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya
perkataan yang baik”. (Q.s. Al-Isra: 23) Mengucapkan kata “ah” kepda orang tua
tidak dibolehkan oleh agama apalagi megucapkan kata-kaa atau memperlakukan
mereka dengan lebih kasar dari pada itu.
Ibn Abbas berkata, “makna qadla adalah amara
(memerintah). “Mujahid berkata, “maknanya adalah washsha (berwasiat).
“Ar Rabi’ Bin Anas berkata, “maknanya adalah wajaba (mewajibkan).
“penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada
pengaruhnya perbedaan.
2.
Berbeda lafaz dan makna
Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat
menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan
(kontradiksi). Artinya, ayat tersebut
dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan
keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa
maisng-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebgai contoh /
permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi
saja.
وَّكَأْسً
دِهَاقًا
Contoh
lainnya, firman-Nya, “ Dan gelas-gelas yang penuh )berisi minuman(”
(Qs. An-Naba : 34)
Ibn
abbas berkata, “makna dihaqa adalah penuh. “mujahid berkata, “maknanya adalah
berurutan (teratur). “ikrimah berkata, “maknanya adalah bening. [25]
Sinkronisasi
terhadap pendapa-pendapat ini adalah dengan mengarahkan ayat kepada seluruh
pendapat tersebut sebab ia bisa menerimanya (mencakupinya) tanpa menimbulkan
pertentangan (kotransiksi) sehingga seakan masing-masing pendapat itu hanya
diketengahkan sebagai contoh atau pemisal.
Dalam hal contoh diatas penulis papar hanya
sebagai sampel saja, agar kita mengenal bagaimana metode tabi’in dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Perlu kita ketahui juga bahwa Tabi’in tidak menafsirkan
secara langsung dan keselurahan ayat Al-Quran lalu ditulis, akan tetapi orang
lain yang mengumpulkannya semua pendapat tabiin lalu dikitabkan. Maka tabi’in
tidak punya karangan kitab khusus tafsir, yang seperti pada periode tafsir
modern dan kontemporer sekarang.
E.
Penutup
Tafsir alquran adalah pendapat (ijtihad)
seseorang tentang makna dan kandungan dari teks alquran yang dikaji dengan segenap ilmu dan
permaslahan yang terkait denganya. Dalam hal ini tafsir mengalami perkembangan
dari zaman-kezaman, maka tafsir terkait sekali dengan perkembangan peradapan
dan ilmu pengetahuan manusia dibumi. Jadi tafsir menurut pendapat tabi’in di
masa klasik itu (tafsir bil ma’tsur) sesuai juga dengan ilmu pengetahuan dan
permsalahan yang berkembang pada masa itu.
tafsir menjadi lebih penting lagi jika disadari
bahwa manfaat petunjuk-petunjuk ilahi tidak hanya terbatas di akhirat
kelak. Akan teatapi petunjuk-petunjuk itu pun menjamin kebahagiaan manusia di
dunia. Sehingga sangat dibutuhkan penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada
seseorang saja atau satu generas saja.
Realitas sejarah membuktikan bahwa interpretasi
kaum muslim terhadap kitab sucinya (tafsir) selalu berkembang seiring dengan
perkembangan peradaban dan budaya manusia. Dan perkembangan penafsiran dari
klasik hingga kontemporer tidak terlepas dari akar sejarah dimana al-Qur’an
dipahami oleh generasi awal Islam. Al-Qur’an yang bercorak al-ma’sur ini lah
menjadi pionir munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.
Daftar Kepustakaan
As-Sabuni,
Muhammad Ali, At-Tibyan Fi Ulum
Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997)
Ash-Shidiqiy, Muhammad Hasbi, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang:
PT.Pustaka Rizki Putra, 2002)
As-Syuti, Imam, al-Itqan, fi
ulum al-quran
Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul
Kutub Al-Ilmiyyat, 1990)
As-Shiddiqi, M. Hasbi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu
Tafsir, (Semarang :Pustaka Rezki Putra, 2000)
Abid, Yunus Hasan, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufasir, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007
Abdullah,
Taufik, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2004
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Bin Shalih, Ushul Fi
At-Tafsir
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2008
Al-Qardawi, Yusuf, Kayfa
Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran, Cetkan Pertama Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999
Dhahabial, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun,
Beirut: Dâr Ihya’ al-Turath al-Arabi, 1976
Mustaqim, Abdul. Pergeseran Epistemologi Tafsir, Jakarta : Pustaka
Pelajar,2008
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran
al-Qur’an Priode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003
Khon, Abdul Majid, Ulumul
Hadis, Jakarta : AMZAH, 2009
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. Jakarta : Pustaka
Al-kautsar, 2005
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16
(Bandung: Pene - bit Mizan, 1997), h. 16.
Sakni, Ahmad Soleh, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam,
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor.2
Qattan (al), Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. Riyad:
al-Ma,had al-,Ali li al-Qada’
Zuhaili,Wahbah, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa
Al-Manhaj, Juz 9. Bairut: Dar Al-Fikri
[1]
3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Mizan,
1997), h. 16.
[2]Abdul
Mustaqim. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Priode
Klasik hingga Kontemporer. (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), xv.
[3]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta : AMZAH, 2009), h.113
[4] Muhammad
Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997),h. 341
[5] Thobaqot
mufassir merupakan lapisan atau tingkatan mufassir
[6]
Muhammad Hasbi Ash-Shidiqiy, Ilmu-Ilmu Alquran, (Semarang: PT.Pustaka
Rizki Putra, 2002). h2.00
[7]
Ahmad Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam,
JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2. H.64
[8] Muhammad
Ali As-Sabuni, At-Tibyan Fi Ulum Al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1997),h. 342
[9]
Imam As-Syuti, Al-Itqan, Fi Ulum Al-Quran, h.175
[10]
Al-zahabi, Mi’zanul I’tidal Fi Naqd Al-Rijal. (Beirut: Darul Kutub
Al-Ilmiyyat, 1990), H.160
[11]
Lihat Hasbi As-Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Quran Dan Ilmu Tafsir,
(Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000), h.30
[12]
Yunus Hasan Abid, Tafsir al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 35.
[13]
Qattan al, Manna, Khalil. Mabahith fi Ulum al-Qur’an. (Riyad: al-Ma’had
al-,Ali li al-Qada’, t.th)h. 339
[14] Ibid.
h 340.
[15]
Dhahabîal, Muhammad Husayn. Al-Tafsir wa al-Mufassirun.(Beirut: Dar
Ihya’al-Turath al-Arabi, 1976), h. 128
[16]
Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Jakarta : Pustaka
Pelajar,2008), h.32
[17]Ahmad
Soleh Sakni, Model Pendekatan Tafsir Dalam Kajian Islam, h.64
[18]
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Lmu Alquran, Terj.( Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008), h.417
[19]
Penyimpangan terhadap penafsiran adalah dengan tidak mengindahkan apa-apa yang
datang dari para pendahulu (salaf) dan keberpalingan terhadap peninggalan
mereka segala sesuatu dari titik nol atau kosong sama sekali tanpa ada pondasi
dan cabang sebelumnya. Salah satu pegangan yang paling kokoh serta aturan
pending memahami ajaran islam serta ketetapan-ketetapan al-Qur’an dan sunnah
Nabinya. Aqidah dan pola pikirannya berdasarkan padanya, ketentuan dan
taklidnya tertanam padanya dan dari sanalah akan bercabang aturan serta sepak
terjangnya. Lihat Yusuf Al-Qardawi, Kayfa Nata ‘Amal Ma’a Al-Quran,
Cetkan Pertama (Al-Qahirah: Dar Al-Shuruq, 1999), h.350
[20]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Mizan, 1997), h. 70
[21]
Ahmad Syafii Maarif, Posisi Sentral Al-Quran Dalam Studi Islam, lihat Taufik
Abdullah, M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama, Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h.159
[22]
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Cet. ke-16 (Bandung: Pene - bit
Mizan, 1997), h. 142
[23]Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Stadi Al-Qur’an, terj. (Jakarta : Pustaka
Al-kautsar, 2005), h.
426-427
[24]
Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Ushul Fi At-Tafsir, h.30-31
[25]Wahbah
Zuhaili, Al-tafsir Al-Munirfi Al-‘Aqidah Wa Al-Syri’ah Wa Al-Manhaj, Juz 9.
(Bairut: Dar Al-Fikri)
Langganan:
Postingan (Atom)